Karena ideologi sudah berkelindan dengan politik dan kekuasaan, maka wajar bila bersamanya juga muncul beragam fitnah yang sebagian besarnya merupakan kebohongan yang diada-adakan untuk kepentingan politik tertentu. Fitnah-fitnah itu terus berlangsung hingga sekarang, walaupun sudah banyak yang sudah diklarifikasi sejak Ibn Abdul Wahhab masih hidup. Bahkan buku-buku yang berisi fitnah itupun terus direproduksi hingga saat ini. Di antara fitnah yang sering dilontarkan kepada Wahabi adalah: takfir terhadap kelompok yang tidak sepaham, melakukan pembunuhan terhadap para ulama, melarang ziarah ke kuburan Nabi, mau menghancurkan kuburan Nabi, bekerja sama dengan Inggris merebut Mekah dan Madinah dari tangan Usmani, dan sebagainya.
Karena fitnah-fitnah ini sesungguhnya hanya reproduksi ulang sejarah hampir dua abad ke belakang, maka penting untuk mengulas kembali bagaimana tokoh-tokoh pada masa lalu menyikapi fitnah semacam ini. Salah satu yang penting dihadirkan adalah sosok Rasyid Ridha. Ia adalah ideolog bagi gerakan-gerakan pembaharuan Islam di Indonesia awal abad ke-20 seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. Pandangan Ridha berbeda dengan pandangan Ibn Abdul Wahab; tapi ia sering dituding sebagai Wahabi-nya Mesir. Tudingan yang sama juga sering dialamatkan kepada gerakan-gerakan modernis Indonesia seperti Muhammadiyah dan Persis. Bagaimana sesungguhnya pendirian Rasyid Ridha dibandingkan dengan Ibn Abdul Wahab; dan bagaimana sikapnya terhadap gerakan Ibnu Abdul Wahhab sendiri? Dua pertanyaan inilah yang hendak diulas secara singkat dalam tulisan sederhana ini.
Mazhab Pemikiran Ormas-Ormas Islam Modernis Indonesia
Hadirnya dua kelompok yang memang memiliki latar belakang berbeda dari segi mazhab fikih dan beberapa model gerakan ini tidak ayal ikut semakin meramaikan isu tentang Wahabi di Indonesia. Dalam hal ini gerakan-gerakan modernis sering disebut sebagai “representasi” Wahabi di Indonesia. Ajaran-ajaran yang dibawa ormas ini yang memang tidak sama persis dengan ajaran fikih mazhab Syafi’i yang telah berkembang sebelumnya di Indonesia menjadi salah satu pemicu kelompok-kelompok modernis ini disebut Wahabi.
Apakah ormas-ormas modernis ini memang memiliki hubungan langsung dengan gerakan Ibn Abdul Wahab di Saudi Arabia atau dengan murid-muridnya? Inilah yang sejarah tidak bisa menjawabnya secara positif. Ormas-ormas modernis ini memang dalam beberapa hal mengritik praktik-praktik keagamaan yang umum dilakukan oleh masyarakat yang bermazhab Syafi’i. Akan tetapi, bila dihubungkan secara langsung dengan gerakan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab pasti tidak akan ditemukan jalurnya secara langsung. Kalaupun boleh disebut nama Ahmad Soorkati pendiri Al-Irsyad yang besar di Mekah, namun ia pun tidak secara langsung berhubungan guru-murid dengan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab. Lalu mengapa ormas-ormas modernis ini sering disebut Wahabi? Jawaban pasti sulit didapat. Hanya dugaan bahwa gerakan-gerakan tradisionalis yang diwakili terutama oleh Nahdhatul Ulama mungkin ingin menyederhanakan masalah bahwa semua pandangan yang berseberangan dengan mereka dianggap dipengaruhi oleh gerakan Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab.
Mudah-mudahan dugaan ini tidak terlalu tepat. Akan tetapi, kalau memperhatikan secara lebih detil terhadap sejarah pemikiran gerakan-gerakan modernis, memang genealoginya tidak sampai secara langsung kepada Muhammad ibn Abdul Wahab. Gerakan-gerakan modernis ini, bila dilihat dari pengaruh pemikiran, lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Reformis Mesir Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha. Hampir semua sejarawan yang meneliti gerakan-gerakan pembaruan Islam awal abad ke-20 menyetujui hal ini. Sebut saja seperti Deliar Noer, Howard Federspiel, Harry J. Benda, Alfian, Akh Minhaji, dan yang lainnya. Karakter pemikiran Reformis Mesir ini jelas berbeda dengan karakter pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab, sekalipun irisannya ada.
Di antara perbedaan yang mencolok adalah isu dasar yang digagas. Ibn Abdul Wahhab dalam dakwahnya lebih banyak menggelorakan isu pentingnya purifikasi akidah Islam menuju tauhid yang sejati; membasmi syirik dan bid’ah. Gerakan ini hampir tidak tersentuh agenda politik tertentu. Mereka cenderung menyerahkan masalah politik kepada penguasa yang memberi perlindungan yang dalam hal ini diperankan oleh raja-raja keluarga Saudi. Sementara itu, isu yang diusung oleh gerakan Reformis Mesir adalah isu “Pan-Islam” atau “Persatuan Islam”. Gagasan inilah yang dikampanyekan Jamaludin Al-Afghani ke mana-mana dan mendapat dukungan intelektual sangat serius dari Muhammad Abduh yang saat itu menjabat sebagai Rektor di Universitas Al-Azhar.
Jamaluddin Al-Afghani dikenal getol berkampanye agar kaum Muslim di seluruh dunia bersatu secara politik untuk menghadapi kolonialisme yang saat itu membelenggu dunia Islam. Sementara itu, Muhammad Abduh secara kreatif mencoba untuk mempersatukan umat Islam secara pemikiran. Ia menulis Risâlah Al-Tauhîd sebagai upaya untuk mempersatukan pandangan kaum Muslim Ahlus-Sunnah dalam masalah akidah yang saat itu tersekat oleh pandangan salaf (Ibnu Taimiyah) dan khalaf (Asy’ariyah). Langkahnya diikuti oleh murid dan koleganya Thohir Al-Jazairi yang menulis risalah Al-Jawahir Al-Kalamiyyah dengan misi yang kurang lebih sama, yaitu menjembatani pemahaman salaf dan khalaf dalam masalah akidah.
Muhammad ibn Abdul Wahab sesungguhnya termasuk dalam kategori muqallid dalam masalah fikih, yaitu taqlîd terhadap mazhab Imam Ahmad ibn Hanbal. Oleh sebab itu, Wahabi termasuk dalam kategori mazhabiyah sama seperti para pengikut mazhab yang lain, baik pengikut mazhab Syafii’i, Hanafi, maupun Maliki. Bila di Indonesia umumnya masyarakat mengikuti mazhab Syafi’i dan gerakan ormas tradisionalis pun mengukuhkan itu, maka karakter yang sama juga dianut oleh Ibn Abdul Wahhab, murid-muridnya, dan juga pengikut-pengikutnya. Tidak mengherankan apabila saat ini, Kerajaan Saudi Arabia yang merupakan negara pengikut setia dakwah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahhab menjadikan Mazhab Imam Ahmad ibn Hambal sebagai mazhab resmi negara. Dalam hal ini, Muhammad Abduh dan murid-muridnya sama sekali berbeda dengan Ibn Abdul Wahhab. Abduh menyerukan persatuan antar-mazhab secara pemikiran dengan menawarkan pendekatan perbandingan mazhab da tarjih dalam masalah-masalah fikih, bukan taklid terhadap mazhab. Pendekatan ini kemudian dikembangkan oleh muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Bahkan pendekatan ini menjadi pendekatan khas Universitas Al-Azhar dalam pengembangan kajian fikih.
Dalam konteks pemikiran, gerakan-gerakan pembaharuan Islam pada awal abad ke-20 satupun tidak ada yang sepenuhnya mengambil pemikiran Muhammad ibn Abdul Wahab, baik dalam masalah akidah maupun fikih. Gerakan-gerakan ini lebih memilih pendekatan Muhammad Abdud dan Rasyid Ridha yang lebih menekankan pada “persatuan”. Hal ini terlihat dari pendekatan-pendekatan pengajaran akidah dan fikih pada organisasi-organisasi seperti Muhammadiyah, Persis, dan Al-Irsyad. Selain itu, karya-karya tulis dalam bidang akidah dan fikih seperti yang banyak dibuat oleh A. Hassan dari Persis juga memperlihatkan pengaruh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho yang sangat kuat. Tidak ada satupun di antara organisasi pembaharu ini yang menyatakan diri bermanhaj salaf dan bermazhab fikih Hambali.
Sikap Ridha terhadap Wahabi
Dalam buku ini Ridha sampai pada kesimpulan bahwa terjadinya fitnah terhadap gerakan Wahabi, baik sejak awal kemunculannya di Nejd awal abad ke-19 maupun seabad berikutnya awal abad ke-20 ketika keluarga Saudi berhasil menaklukkan Mekah, disebabkan karena dengki politik dari penguasa Mekah saat itu. Berikut kesimpulan paling penting dari Rasyid Ridha berkaitan dengan fitnah terhadap dakwah Ibn Abdul Wahhab.
“Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab adalah pembaharu Islam di negeri Nejd yang berusaha mengembalikan penduduk Nejd dari perbuatan syirik dan bid’ah yang tersebar luas saat itu menuju jalan “tauhid” mengikuti manhaj Ibnu Taimiyyah. Keberhasilannya yang relatif cepat karena dukungan dan perlindungan dari keluarga Saud. Keluarga Saudi ini sesungguhnya bukan klan yang paling kuat dan paling berpengaruh di Nejd, akan tetapi Allah Swt. menolong mereka karena telah menolong agama-Nya. Dakwah Ibn Abdul Wahab ini di samping mendapatkan keberhasilan, juga tidak sepi dari ujian dan fitnah. Walau begitu, pembelaan terhadap fitnah ini juga diperlihatkan oleh Allah Swt. Fitnah-fitnah ini umumnya terjadi karena penguasa Mekah yang sering melakukan kerusakan di muka bumi dan berbuat mulhid (pelanggaran agama) di Tanah Haram sejak awal kemunculan dakwah pembaharuan ini telah melakukan penolakan dan perlawanan. Merekalah yang menyebarkan fitnah ke seluruh dunia Islam bahwa dakwah Ibn Abdul Wahab adalah dakwah kufur, bid’ah, dan bertujuan untuk memusuhi kaum Muslimin. Posisi mereka yang berada di Mekah memudahkan untuk menyebarluaskan fitnah ini ke seluruh kaum Muslim. Mereka juga berusaha menghasut Kerajaan Usmani untuk memerangi keluarga Saudi. Usmani kemudian meminta bantuan kepada penguasa baru Mesir untuk melakukan pengerangan terhadap Keluarga Saudi. Dalam tulisan ini kami tidak bermaksud menjelaskan apa yang terjadi di masa lalu, melainkan ingin menjelaskan dampak yang terjadi akibat kelakuan para penguasa Mekah yang dikenal dengan sebutan “syarif” itu.
Semula Kerajaan Usmani terhasut sehingga memusuhi Keluarga Saudi selama hampir satu abad, karena berkeyakinan bahwa keluarga Saudi hendak mendirikan kerajaan Arab baru yang kuat yang akan menghapus pengaruh dan kekuasaan Usmani di kawasan Arab, lalu mereka akan menghancurkan kekhalifahan. Akan tetapi, semua tidak terbukti. Mereka malah mendapatkan keuntungan ketika melakukan kesepakatan dengan Keluarga Saudi dan mengakui kekuasaannya di Nejd dan sekitarnya. Atas dasar kesepakatan ini, diketahui bahwa permusuhan Usmani terhadap Keluarga Saudi sebelumnya sama sekali bukan karena alasan agama seperti sangkaan orang-orang jahil.
Sementara itu, para amir Mekah yang dikenal dengan sebutan “syarif” terus saja dalam kesesatan mereka dengan menyebarkan fitnah dan dusta atas dakwah Wahabiyah. Di antara amir yang paling berlebihan dalam memfitnah dan memusuhi Keluarga Saudi adalah Amir Husein ibn Ali. Saat Hijaz lepas dari Usmani dan jatuh ke tangan Inggris, kekuasaan Hijaz seolah-olah sudah berada di tangannya. Ia juga menyangka bahwa Nejd yang dikuasai oleh Keluarga Saudi akan segera jatuh juga ke tangannya. Ia pun semakin gencar melakukan tipudaya, fitnah, dan provokasi kepada Keluarga Saudi. Akan tetapi, akhirnya justru Hijaz yang dikuasainya berhasil direbut oleh Abdul Aziz ibn Saud hingga kawasan ini dapat diselamatkan dari thoghut yang menggelari dirinya sebagai “penyelamat” ini dan keturunannya. (hal. 6-7)
Melalui pernyataannya ini, terlihat bahwa Rasyid Ridho berkesimpulan bahwa munculnya fitnah-fitnah terhadap dakwah Muhammad ibn Abdul Wahab terutama bermula dari kekhawatiran politik terhadap semakin menguatnya kekuasaan Keluarga Saudi di Jazirah Arab. Ketika penguasa ini menjadi penyokong penuh dakwah Wahabi, yang disokongnya pun tidak luput dari fitnah. Apalagi memfitnah ajaran agama sebagai sesat, bid’ah, dan kafir lebih menjual daripada melakukan fitnah politik yang bisa jadi tanggapannya tidak akan terlalu mendapat perhatian masyarakat.
Kesimpulan ini tentu saja harus dibuktikan oleh Ridha. Pertama, ia membuktikan bahwa akidah yang dipegang dan diyakini oleh Muhammad ibn Abdul Wahab sama sekali bukan akidah baru. Akidahnya adalah juga akidah Ahlus-Sunnah wal Jamaah dengan menggunakan manhaj Ibnu Taimiyah yang telah dikenal luas sebelumnya di dunia Islam. Tidak ada yang menyangkal keulamaan Ibnu Taimiyah, apalagi membid’ahkan pemikirannya, sekalipun dalam beberapa hal pemikirannya banyak tidak disetujui sebagian kalangan. Akan tetapi, perbedaan pandangan di kalangan ulama sejak lama memang sering terjadi. Hal itu sudah merupakan kebiasaan yang tidak pernah menggugurkan keulamaan seseorang. Apalagi Ibnu Taimiyyah banyak yang menilai sudah layak menjadi mujtahid mustaqil atau mujtahid mutlaq yang boleh menjadi anutan mazhab mandiri. Oleh sebab itu, mengikuti mazhab Ibnu Taimiyyah adalah sesuatu yang sah dan wajar, bukan penyimpangan dan bid’ah. Tuduhan-tuduhan bahwa Ibn Abdul Wahhab mengkafirkan orang yang berseberangan dengannya dan lainnya dibantah sensiri oleh yang bersangkutan dalam kitabnya Al-Hadiyyah Al-Saniyyah wa Al-Tuhfah Al-Wahhabiyyah Al-Najdiyyah.
Kedua, dari sudut pandang politik tindakan Keluarga Saudi mengambil alih Hijaz telah tepat. Saat itu Hijaz berada di bawah Inggris, karena menjadi wilayah yang dimenangkan Inggris ketika Usmani kalah perang. Saat jatuh ke tangan Inggris, Syarif Husein melah memanfaatkan untuk kepentingan ambisi kekuasaannya. Ia mengklaim diri sebagai kekhalifahan baru yang sah yang seluruh kaum Muslim wajib berbaiat kepadanya. Siapa yang tidak berbaiat dianggap khawarij dan sah untuk diperangi. Ia bahkan berani mengafirkan orang-orang yang tidak mau berbaiat pada kekuasaannya. Syarif Husein juga berusaha sekuat tenaga agar wilayah Nejd yang dikuasi Keluarga Saudi agar masuk menjadi bagian dari kekuasaannya. Beberapa kali ia berusaha melakukan penyerangan dengan meminta bantuan kepada Inggris untuk mengambil alih Nejd dari tangan Keluarga Saudi.
Ketiga, karena persekongkolan Syarif Husein dengan Inggris ditambah usahanya untuk merebut Nejd itulah yang menyebabkan Keluarga Saudi berada pada posisi yang benar secara politik. Nejd yang kemudian memukul balik Syarif Husein dan akhirnya mendapatkan kawasan Hijaz dianggap oleh. Menurut Ridha penguasa Nejd telah berhasil menyelamatkan Tanah Haram dari cengkeraman kaum kafir Inggris. Lagi pula raja yang memegang kekuasaannya adalah raja yang dianggap oleh Ridha sangat serius dalam melaksanakan ajaran-ajaran Islam di negara barunya. Raju baru ini juga berhasil untuk sementara waktu melindungi kota terpenting bagi kaum Muslimin.
Dari analisis politik di atas terlihat bahwa sebetulnya yang banyak menjadi incaran adalah penguasa pendukung dakwah Ibn Abdul Wahab, yaitu Keluarga Saudi. Keluarga ini juga yang mendapat fitnah lanjutan setelah berhasil menguasai kawasan Tanah Haram, Mekah dan Madinah. Ridha menunjukkan contoh tuduhan bahwa rezim baru ini akan menghancurkan makam Nabi Saw. karena berada di lingkungan Masjid Nabawi. Walaupun dalam masalah agama ini bukan hal yang mendasar, tetapi justru menjadi fitnah baru yang sangat laku ditimpakan kepada pengikut Ibn Abdul Wahhab ini. Kenyataannya apa yang dituduhkan itu benar-benar hanya fitnah. Ridha saat itu memastikan bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan oleh penguasa Hijaz yang baru ini. Sebab, tidak ada alasan syar’i apapun untuk menghancurkan kuburan Nabi Saw. Kalaupun ada larangan menjadi kuburan sebagai mesjid, kasusnya sangat berbeda dengan kuburan Nabi. Kuburan Nabi walaupun berada di kompleks Masjid Nabawi saat itu, sama sekali tidak dijadikan masjid. Kawasan makam Nabi bersama Umar ibn Khattab dipisahkan dengan dinding khusus yang menandai bahwa kawasan itu bukan kawasan mesjid. Bukan hanya pada masa awal kekuasaannya di Hijaz, bahkan hingga saat ini Keluarga Saudi tidak pernah mengganggu kawasan pekuburan Nabi Saw. Selain fitnah itu juga muncul fitnah lain seperti kamar Aisyah akan dihancurkan dan semisalnya. Atas semua tuduhan itu, Ridha menunjukkan bahwa semuanya fitnah belaka.
Bila memperhatikan pembelaan penuh Rasyid Ridha terhadap Keluarga Saudi dan gerakan dakwah Muhammad ibn Abdul Wahab, maka siapapun akan mengatakan bahwa Ridha adalah pengikut dan antek Wahabi. Mungkin ini juga yang menyebabkan siapa saja yang terpengaruh oleh pemikiran Rasyid Ridha seperti Muhammadiyah dan Persis di Indonesia dengan mudahnya disebut sebagai “Wahabi”. Padahal, Rasyid Ridha justru hanya melihat masalah Wahabi ini sebagai fitnah yang di belakangnya terdapat kepentingan politik yang sangat kental. Semantara dari segi ajaran, Ridha melihatnya sebagai satu varian pemikiran biasa yang merupakan bagian dari dinamika pemikiran umat Islam.
Sekalipun dari segi politik ia sangat membela Wahabi, namun dari segi pemikiran ia justru berbeda yang pokok perbedaannya telah dijelaskan di atas. Oleh karena itu, murid-murid penerus dakwah Syaikh Muhammad ibn Abdul Wahab generasi sesudah Rasyid Ridha justru malah mencela Rasyid Ridha. Ridha bersama gurunya, Muhammad Abduh, dianggap memiliki pendekatan yang terlampau rasionalis (aqlaniyyah) yang dianggap tidak tepat menurut manhaj salaf yang mereka pahami. Ia bersama dua gurunya Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh dianggap yang paling bertanggung jawab atas tumbuhnya mazhab rasionalis di dunia Islam setelahnya. Anggapan ini hampir umum diketahui oleh mereka yang menyatakan diri sebagai pengikut Muhammad ibn Abdul Wahab saat ini; atau yang lebih sering disebut sebagai “salafi”.
Penutup
Kedua, perbedaan antara Wahabi dan Asy’ari di kalangan Ahlus-Sunnah wal Jamaah harus dilihat dari sudut pandang ikhtilaf furû’iyyah biasa sebagaimana telah banyak dibuktikan oleh para peneliti, termasuk Rasyid Ridha. Tulisan terkahir K.H. Ali Musthafa Ya’kub tentang perbedaan furû’iyyah antara NU dan Wahabi dapat menjadi salah satu contoh yang paling tegas bahwa perbedaan ini adalah sungguh-sungguh hanya perbedaan masalah furû’iyyah ‘aqâ’idiyyah dan fiqhiyyah.
Ketiga, bila demikian kenyataannya maka untuk menyelesaikan kasus persengketaan antara Wahabi dengan yang menyebut diri sebagai Aswaja “asli” adalah dengan memperbanyak dialog, saling pengertian, dan menahan diri untuk tidak saling menghujat satu sama lain. Perbedaan-perbedaan besar yang sifatnya furû’iyyah yang sering dijadikan sebagai penyebab utama persengkataan antara dua kelompok ini sudah saatnya untuk tidak dijadikan alat untuk saling menyerang satu sama lain. Sebab, dari sinilah seringkali konflik horizontal umat Islam. Dalam hal ini, umat Islam juga harus mewaspadai provokasi musuh-musuh Islam yang tidak menghendaki bersatunya umat Islam. Wallâhu a’lam.
KOMENTAR