Koordinator penyelenggara sidang rakyat yang digelar selama empat hari dan berakhir Jumat (13/11), Nursyahbani Katjasungkana, mengatakan sidang tersebut baru langkah pertama.
“Kita akan menggunakan putusan IPT 1965 sebagai dokumen lobi kepada organisasi-organisasi internasional baik LSM maupun PBB jika dalam enam bulan ke depan atau maksimum satu tahun pemerintah Indonesia tidak melakukan kewajibannya menurut hukum nasional maupun internasional," katanya di Den Haag.
Karena putusan majelis hakim baru keputusan awal, maka penyelenggara akan melakukan persiapan untuk menggelar sidang putusan akhir. Sidang itu direncanakan akan digelar tahun depan di Jenewa.
Langkah-langkah ini mendesak dilakukan, apalagi para penyintas sudah makin lanjut usia.
"Pengungkapan kebenaran dan pelurusan sejarah agar generasi muda mendapatkan sejarah negaranya yang jujur tetapi juga semacam penyembuhan bagi korban karena setidaknya organisasi HAM internasional atau masyarakat internasional secara umum mengakui adanya kejahatan HAM berat yang dialami para korban dan wakil-wakilnya," jelas Nursyahbani.
Bukti-bukti dan kesaksian yang diajukan ke Pengadilan Rakyat Internasional 1965 sebenarnya tidak terlalu baru. Sebagian pun sudah dimuat dalam laporan investigasi Komnas HAM pada 2012 dan sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung.
Menko Polhukam Luhut Padjaitan sebelumnya menegaskan tidak ada orang yang mungkin bisa diadili dalam kasus dugaan kekejaman pasca peristiwa 30 September itu.
"Sudah pada mati (orang) yang (mau) diadili. Yang PKI ada (yang) dibunuh, yang jenderal juga ada (yang) dibunuh. Jadi sekarang siapa yang mau diadili?"
Pengadilan Informal?
Dugaan kekejaman yang terjadi pasca peristiwa 30 September 1965 diperkirakan akan sulit dibawa ke peradilan resmi karena kendala pembuktian dan terdakwa. Demikian pendapat guru besar emeratus bidang hukum internasional, Ko Swan Sik di sela-sela penutupan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) 1965 di Den Haag, Jumat (13/11).
“Kalau kita memikirkan kemungkinan peradilan yang sebenarnya saya kira akan sukar sekali. Bagaimana caranya mencari bukti apa yang keluar dari kesaksian-kesaksian kemarin.
“Kalau itu terjadi dalam sidang pengadilan yang benar, saya kira tidak kuat karena sebagian berdasarkan kesaksian apa yang didengar,” jelas mantan profesor di Universitas Erasmus Rotterdam, Belanda itu.
Ia merujuk pada sebagian kesaksian yang diberikan dalam IPT 1965. Namun demikian, kesaksian yang disampaikan langsung oleh para korban yang mengalami sendiri, seperti Martono, seorang saksi kekerasan seksual dari Yogyakarta dan seorang saksi penghilangan paksa dari Nusa Tenggara Timur sangat kuat.
Salah satu hambatan kunci mengangkat peristiwa selama periode pergolakan politik 1965-1966, dikatakan oleh Ko Swan Sik, adalah mencari para terdakwa setelah setengah abad lalu.
“Bagaimana bisa kita mencari orang-orang itu, mungkin masih ada satu atau dua orang yang masih hidup tapi korbannya mungkin ratusan ribu orang. Saya kira untuk mencari terdakwa-terdakwa sukar sekali setelah 50 tahun,” jelasnya kepada BBC Indonesia.
Oleh karenanya, ia tidak yakin peristiwa tersebut dapat diselesaikan apalagi melalui sidang rakyat, seperti Pengadilan Rakyat 1965, yang putusannya tidak mempunyai kekuatan hukum.
Ko Swan Sik berpendapat putusan pengadilan-pengadilan rakyat berfungsi sebagai pendorong lagi bagi lembaga-lembaga berwenang untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
Dalam putusan sela, hakim IPT 1965 menetapkan bahwa bukti-bukti menunjukan pelanggaran hak asasi manusia berat memang telah terjadi.
Komnas HAM merampungkan penyelidikan terkait peristiwa yang diduga menewaskan ratusan ribu hingga satu juta orang itu pada 2012 dan menyerahkan hasilnya ke Kejaksaan Agung tetapi hingga kini belum ada kelanjutannya.
Langkah Internasionalisasi
Panel hakim Pengadilan Rakyat Internasional tentang peristiwa 1965, dalam putusan sementara, menetapkan bahwa bukti-bukti menunjukan pelanggaran hak asasi manusia berat memang terjadi pasca 30 September 1965.
Pada pembukaan sidang sebelumnya, jaksa mengatakan negara Indonesia bertanggung jawab atas tragedi 50 tahun lalu terkait sembilan dakwaan. Atas dakwaan pembunuhan kejam dan pembunuhan massal terhadap puluhan ribuan orang dan pemenjaraan tanpa dasar dan tanpa sidang atas ratusan ribu orang lainnya, juga ditemukan berdasar.
Panel hakim beranggotakan tujuh orang juga secara khusus menyebut terjadinya kekerasan seksual secara sistematis.
Panel hakim juga mempertimbangkan dakwaan jaksa tentang keterlibatan negara-negara lain dan hal tersebut akan dipertimbangkan lebih lanjut. Hakim tidak sampai menyebut nama-nama negara terkait, tetapi dalam dakwaan, jaksa mengatakan Amerika Serikat, Inggris, dan Australia terlibat membantu kediktatoran Suharto untuk menumpas apa yang disebut sebagai Partai Komunis Indonesia.
Hakim Zak Yacoob mengatakan panel hakim masih memerlukan waktu lagi untuk mempelajari bukti-bukti sebelum membuat putusan final. Sidang putusan rencananya akan digelar tahun depan di Jenewa.
Pengadilan Rakyat Internasional tentang peristiwa 1965 yang digelar di Den Haag diperkirakan akan membantu mengangkat masalah tersebut di tingkat dunia. Demikian disampaikan oleh pengamat masalah Indonesia Profesor Dr Gerry van Klinken dari Institut Belanda tentang Kajian Asia Tenggara dan Karibia.
Ia menjelaskan pergolakan politik setengah abad silam yang sudah dianggap berakhir di Indonesia, di panggung internasional justru semakin mendapat perhatian.
“Mungkin karena memang sudah 50 tahun, tetapi juga dalam suasana reformasi ada kesempatan untuk meninjau kembali, mau kemana Indonesia sebagai suatu bangsa, meninjau kembali ke belakang, juga ke depan," kata Van Klinken di sela-sela Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag yang digelar mulai Selasa (10/11) hingga Jumat (13/11).
“Dan di tingkat internasional ada film-film Joshua Oppenheimer yang banyak dipuji juga oleh orang yang tidak terlalu paham tentang Indonesia,” katanya.
Ia merujuk film seputar pembunuhan dalam pergolakan politik 1965 The Act of Killings dan film berikutnya The Look of Silence.
Menurut Gerry van Klinken, ada sejumlah ilmuwan dan sejarawan yang berusaha untuk mendalami apa yang terjadi dan untuk memasyarakatkan temuan-temuannya. Baru-baru ini, tambahnya, digelar simposium di Belanda untuk membahas peristiwa 1965 yang masih dianggap peka di Indonesia dan yang belum diselesaikan secara hukum itu.
Bagi Daniel Rudi Haryanto, seorang pembuat film dokumenter, penyelenggaraan sidang rakyat di Den Haag dengan tujuh hakim internasional menunjukkan adanya terobosan.
“Saya melihat tribunal ini adalah kemajuan besar dan kemenangan besar dari masyarakat sipil Indonesia karena kita membuka situasi yang beku selama ini," kata Daniel.
“Menuju Indonesia lebih baik adalah membuka persoalan-persoalan ini dan menyelesaikan persoalan-persoalan, bukan untuk membuka luka tapi bagaimana mengobati luka ini.” tuturnya.
Beberapa saksi yang dihadirkan dalam Pengadilan Rakyat Internasional di Den Haag menyatakan keyakinan bahwa jalur internasional dapat membantu mengungkap kebenaran, meskipun mereka sadar kesaksian mereka mendapat tanggapan negatif di Indonesia.
Apa pun keputusan sidang rakyat ini, hasilnya tidak mengikat karena tidak diselenggarakan oleh lembaga peradilan resmi seperti Mahkamah Kejahatan Perang.
Minta Maaf atau Rekonsiliasi?
Muhammadiyah menyatakan Pengadilan Rakyat Internasional atau IPT yang digelar di Den Haag, Belanda, 10-13 November ini tak perlu dilakukan, karena penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu bisa dilakukan dengan rekonsiliasi.
Ketua Umum Muhammadiyah terpilih Haedar Nashir menilai peristiwa yang terjadi pada 1965 ini merupakan kasus politik yang rumit dan proses hukum tidak akan dapat dilakukan dengan mudah karena banyak yang terkait.
"Tidak sesederhana itu, tak mudah kita giring pada pelanggaran HAM karena politik yang rumit," jelas Haedar kepada BBC Indonesia, hari Rabu (11/11).
"PKI itu jadi bagian tidak terpisahkan dari kekerasan yang dilakukan sebelumnya dan rentetan sikap politik PKI sendiri yang melakukan kudeta pada 1948 yang secara politik menimbulkan aksi reaksi yang membuatnya tidak mudah orang mencari siapa korban dan pelaku dalam konteks pelanggaran HAM," kata Haedar.
Menurut dia, peristiwa 1965 harus dilihat secara utuh tidak hanya dari sisi korban PKI saja. Tetapi juga dari korban kekerasan yang dilakukan.
Tetapi dia mengakui, selama ini tidak ada upaya dari kelompok Islam untuk membawa kasus pelanggaran HAM yang dialami sebelum peristiwa G30S ke jalur hukum.
"Ya mungkin karena beberapa hal, antara lain adalah secara kultur yang menganggap peristiwa yang lalu biarlah berlalu dan tidak terulang lagi," kata Haedar.
Haedar menyatakan cara yang tepat untuk menyelesaikan kasus ini adalah melalui rekonsiliasi, tetapi tidak disertai permintaan maaf negara. Rekonsiliasi dapat dilakukan dengan cara pemerintah mengajak semua korban peristiwa 65 dari kalangan Islam, militer dan juga keluarga PKI untuk rekonsiliasi secara kultural. Sebelumnya, Komnas HAM menilai presiden perlu minta maaf kepada korban, bukan kepada PKI.
Berbicara soal meminta maaf, siapa yang harus meminta maaf? Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengemukakan, negara tidak perlu meminta maaf kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pengikutnya. Mereka telah terbukti mengkianati bangsa ini dengan dua gerakan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis yaitu tahun 1948 dan tahun 1965.
"Minta maaf itu pribadi saja. Negara kita besar. Obama ke Jepang langsung ke Hiroshima berapa juta yang mati? Apa minta maaf? Kan enggak," kata Ryamizard di Jakarta, Kamis (2/6).
Rymizard juga mengemukakan tidak perlu ada rekonsiliasi dengan PKI. Pasalnya, organisasi PKI sudah tidak ada."Masalah rekonsiliasi, pendapat saya itu dengan siapa? PKI sudah pada mati kok," jelas Ryamizard, seperti dikuti Beritasatu.com.
Dia berharap persoalan masa lalu seperti PKI sebaiknya tidak perlu diungkit lagi. Pemerintah Indonesia menganggap kasus 1965 sudah ditutup dan menambahkan bahwa Indonesia harus melihat ke depan serta memperlakukan peristiwa tersebut sebagai pelajaran. [mrh/dbs]
KOMENTAR