$type=ticker$cols=4$label=hide$show=post

[Edisi Terbaru]_$type=three$m=0$rm=0$h=420$c=3$snippet=hide$label=hide$show=home

Oportunisme Politik dan Partai Politik Pragmatis

Sudah kita ketahui bersama bahwa politik di Indonesia itu sangat kental dengan nuansa “dagang-sapi”. Fenomena yang terjadi adalah politik untung-untungan. Maka politiknya cenderung galau tanpa prinsip. Kegalauan itu menunjukkan wajah oportunisme. Sikap berbagai partai politik (parpol) terhadap pencalonan gubernur petahana jelas menunjukan sikap oportunis. Oportunisme politik ini, ditandai dengan tujuan praktis: kursi kekuasaan. Lalu, untuk sebuah kursi kekuasaan dan juga lingkaran kekuasaan di sekitarnya segala cara dibuat meskipun melanggar prinsip-prinsip ideologinya. Uang adalah pertaruhan paling umum. Agama diperalat sedemikian rupa dalam politik identitas.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, oportunisme adalah paham yang semata-mata hendak mengambil keuntungan untuk diri sendiri dari kesempatan yang ada tanpa berpegang pada prinsip tertentu. Sementara itu, Wikipedia mencatat pengertian Oportunisme adalah suatu aliran pemikiran yang menghendaki pemakaian kesempatan menguntungkan dengan sebaik-baiknya, demi diri sendiri, kelompok, atau suatu tujuan tertentu.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa oportunis itu sendiri berasal dari sifat manusia yang tidak pernah puas akan segala sesuatu yang dia peroleh. Dia mengambil segala kesempatan serta peluang yang diperoleh tanpa memikirkan orang lain di sekitarnya.

Ideologi Politik

Politik pada hari ini bukan pertarungan antar gagasan lagi. Manakala politik sudah meniadakan perang gagasan di dalamnya, politik sudah tidak bermakna. Gagasan di sini harus dimaknai sebagai sebuah ideologi. Dan perang ideologi berarti ada prinsip-prinsip dasar yang sangat substansial yang diperhadapkan satu sama lain. Hal ini nanti akan sangat berpengaruh pada tataran kebijakan di bawahnya. Sementara di Indonesia, perang gagasan semacam ini sering-sering tidak ada. Lalu, perangnya lebih ke perang pencitraan. Dalam arti ini perang ke pencitraan antara yang populer dengan gaya tertentu dengan gaya yang berbeda.

Di Amerika misalnya, partai politik yang menonjol hanya dua: Republik untuk yang konservatif dan Demokrat untuk yang liberal. Itu saja. Maka perang ideologisnya, perang gagasannya menjadi sangat hidup. Pada tataran praktis juga akan sangat menonjol: kaum konservatif akan melarang atau memperjuangkan dilarangnya perkawinan sejenis, sementara pihak yang liberal akan mengijinkan dengan prinsip-prinsip humanisme. Sekarang kita bisa melihat peperangan ideologis yang sangat kentara antara Hillary Clinton dari Demokrat dengan Donald Trump dari Republik.

Kehidupan politik modern mensyaratkan eksisnya partai-partai berideologi khas untuk mendukung proses demokrasi yang akan dibangun. Ideologi, idealnya, menjadi acuan bagi internal partai untuk menyikapi beragam fenomena politik. Bagi publik, ideologi menjadi kriteria untuk menjadi anggota, simpatisan, atau minimal menentukan pilihan dalam pemilu. Ideologi menjadi pembeda bagi partai maupun konstituen terhadap partai-partai lainnya. Karena itu ideologi juga menjadi sarana identifikasi bagi aktivis maupun konstituen partai. Ideologi menjadi karakter partai dalam menjalankan perannya dalam ranah politik internal maupun publik.

Dengan melihat ideologinya, kita bisa memilah partai berwatak kapitalistik, sosialistik, sekuler, agamis, progresif, konservatif, dan seterusnya. Selanjutnya, ibarat manusia, partai-partai yang berkarakter mirip akan lebih nyaman berkumpul dan bekerja sama ketimbang dengan sosok yang punya banyak perbedaan. Walhasil, partai-partai yang memiliki titik temu atau kedekatan ideologis wajar jika bergabung membentuk aliansi atau koalisi, sementara partai-partai yang berbeda bisa memerankan diri sebagai alternatif atau oposisi jika tengah tidak memerintah.

Parpol Pragmatis

Jika parpol berdiri di atas ideologi yang jelas ia bisa disebut sebagai partai ideologis. Sementara itu, lawannya adalah parpol yang pragmatis. Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis. Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.

Pragmatisme berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kriteria kebenaran dalam paham pragmatisme adalah seberapa besar “faedah” atau “manfaat”. Suatu ide dianggap benar apabila membawa suatu hasil, dengan kata lain, suatu teori adalah benar if it works.
Pragmatisme tolok ukurnya adalah asas manfaat, sejauh mana manfaat yang bisa diperoleh. Jadi yang baku dalam pragmatisme adalah manfaat. Jika ide, gagasan, konsep, sikap, atau sesuatu tidak bisa memberikan manfaat atau hanya memberikan manfaat kecil maka buat apa dipertahankan, meski hal itu bersifat ideologis dan idealis.

Faktanya, manfaat itu dalam pandangan manusia bersifat subyektif, bergantung pada individu dan kelompoknya. Manfaat itu juga bersifat situasional, bisa berubah sesuai situasi dan kondisi. Apa yang saat ini dipandang manfaat dan diambil, lain waktu tidak lagi dinilai manfaat dan ditinggalkan. Pragmatisme itu pada akhirnya berujung pada sikap machiavelis, menghalalkan segala cara – the end justifies the means-. Pragmatisme itu melahirkan sikap plin-plan dan membentuk manusia hipokrit.
Pragmatisme dalam politik membuat idealisme dan ideologi menjadi sesuatu yang basi. Politisi atau parpol yang menganut pragmatisme ini menjadikan politik sebagai panggung sandiwara. Yang ada akhirnya hanya basa-basi politik. Dalam politik pun biasa dilakukan propaganda plain folk, yaitu mengidentifikasi diri dengan sesuatu yang ideal, terlepas dari apakah ia memang demikian atau tidak. Di sinilah sering terdengar slogan “atas nama rakyat”, “untuk kepentingan rakyat”, “demi wong cilik”, “demi kebenaran dan keadilan”, “demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat” dan slogan-slogan sejenis. Tujuannya jelas, agar diidentifikasi seperti itu sehingga memikat perhatian konstituen. Namun semuanya hanya basa-basi, sementara kenyataannya jauh panggang dari api.

Pragmatisme juga membuat politisi dan parpol tuna identitas. Yang kemarin menjadi lawan, hari ini bisa menjadi kawan. Jika kemarin tampak berseteru, hari ini bisa dengan penuh senyum berangkulan dan bergandengan erat. Koalisi pun bisa dijalin dengan siapapun, tidak lagi memperhatikan visi dan ideologi, selama semuanya dipertemukan oleh manfaat bersama.

Pragmatisme dalam politik itu pada akhirnya justru menistakan politisi, parpol dan politik itu sendiri. Politik hanya dijadikan alat demi meraih kedudukan dan kekuasaan dan berikutnya mempertahankannya. Politik juga dijadikan sebagai alat tawar untuk mendapatkan keuntungan meski jangka pendek. Sementara, kepentingan rakyat hanya menjadi komoditas.

Pragmatisme itu juga mendapatkan justifikasi dari doktrin politik dalam kapitalisme yang memang fokus pada kekuasaan. Yaitu berfokus pada bagaimana memperoleh kekuasaan dan mempertahankannya, atau di sisi lain mempengaruhi kekuasaan ketika berposisi sebagai oposisi. Di atas semua itu kepentingan individu, partai dan kapitalis pemodal politik menjadi yang diutamakan. Kebijakan dan sikap oposan pada akhirnya untuk memperbesar diraihnya kepentingan itu, atau untuk menaikkan posisi tawar guna meminimalkan kehilangan.

Semua itu makin sistemik ketika dibingkai dengan sistem politik demokrasi yang di mana-mana selalu berbiaya tinggi. Politisi, parpol dan siapa pun yang masuk, terjun atau terlibat dalam proses politik itu harus mengeluarkan biaya dan tidak jarang “membeli” suara baik langsung maupun tidak langsung. Konsekuensi logisnya, pragmatisme atau bahkan politik uang menjadi sesuatu yang pasti terjadi. Dampak lebih buruknya, terjadilah siklus uang untuk politik dan politik untuk uang. Dalam semua itu rakyat lah yang menjadi korban. Innalillahi. [mrh]

KOMENTAR


Nama

Buya Risman,36,Edisi Terbaru,39,Ekonomi Islam,8,Ghazwul Fikri,6,Infografis,3,Khazanah,8,Kolom,73,Konsultasi,4,Mutiara Takwa,5,Opini,9,Sains,4,Sajian Khusus,17,Sajian Utama,50,
ltr
item
Majalah Tabligh: Oportunisme Politik dan Partai Politik Pragmatis
Oportunisme Politik dan Partai Politik Pragmatis
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeNyStNPrYumTyfPIRvFrrgu86J0bDRJzBat2LEDMuPd_-cjQbCAo_e1xYCtMB7vpI5OnDu-FKmcsNr2jbLI9milvaxxqMz09r3_-3Q5S5PLmBjU5yAz8-yUpAfltPE-rNYoZkhWt0meYi/s640/Oportunisme+Politik+dan+Partai+Politik+Pragmatis.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgeNyStNPrYumTyfPIRvFrrgu86J0bDRJzBat2LEDMuPd_-cjQbCAo_e1xYCtMB7vpI5OnDu-FKmcsNr2jbLI9milvaxxqMz09r3_-3Q5S5PLmBjU5yAz8-yUpAfltPE-rNYoZkhWt0meYi/s72-c/Oportunisme+Politik+dan+Partai+Politik+Pragmatis.png
Majalah Tabligh
https://www.majalahtabligh.com/2016/10/oportunisme-politik-dan-partai-politik.html
https://www.majalahtabligh.com/
https://www.majalahtabligh.com/
https://www.majalahtabligh.com/2016/10/oportunisme-politik-dan-partai-politik.html
true
945971881399728876
UTF-8
Muat semua Tidak ditemukan TAMPILKAN SEMUA Baca lagi Jawab Cancel reply Hapus Oleh Beranda PAGES POSTS Tampilkan semua Rekomendasi untuk Anda UPDATE ARSIP CARI SEMUA POS Not found any post match with your request Kembali Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy