Bergantinya siang dan malam, adanya hidup dan kematian, akan terus digilirkan oleh Allah SWT dengan diiringi banyak kejadian dan perubahan. Ada perubahan tempat, keadaan, ruang, dan waktu. Setiap manusia akan merasakan itu dan itu semua merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT bagi kaum yang berpikir (ulil albab).
Banyak hal yang telah terjadi dan dilalui. Ada harapan yang menjadi kenyataan. Namun, tak sedikit pula kenyataan yang tak sesuai dengan harapan. Begitulah realitas kehidupan mengajarkan. Maka setiap manusia harus menyadari, betapa pentingnya mengisi kehidupan dengan sesuatu yang bermanfaat. Baik bagi diri, keluarga, dan masyarakat.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW mengingatkan kita tentang lima perkara sebelum datang lima perkara, yaitu hidup sebelum mati, muda sebelum tua, sehat sebelum sakit, lapang sebelum sempit, dan kaya sebelum miskin. Semua itu mengajarkan kita arti pentingnya produktifitas dalam hidup, etos kerja, dan amal yang tidak sia-sia.
Sebab itu, setiap pergantian waktu yang dilalui seharusnya mengajarkan kita makna hidup. Pertama, pentingnya hijrah atau perubahan. Ketika Rasulullah menjelaskan hakikat hijrah dalam hadis riwayat Bukhari dari Abdullah bin Amr RA, yaitu “meninggalkan kemaksiatan untuk menuju ketaatan kepada Allah”, maknanya adalah perubahan hidup ke arah yang lebih baik. Dan setiap perubahan yang terjadi tentu menuntut kesungguhan dan pengorbanan.
Maka sangat brilian Ali bin Abi Tholib RA mengusulkan dan tepat sikap Umar bin Khattab RA menetapkan, perhitungan kalender Islam diambil dari tonggak sejarah hijrahnya Nabi SAW dan kaum Muslimin dari kota Makkah ke Madinah. Karena ini mengajarkan kepada umat Islam betapa pentingnya tekad, usaha, kesungguhan, dan pengorbanan dalam kehidupan.
Kalender Islam tidak ditetapkan dari sejarah kelahiran atau kematian Rasulullah. Tidak pula diambil dari sejarah gemilangnya fathul makkah, dan atau berdasarkan nama. Sebab Islam mengajarkan kemuliaan manusia tidak diukur dari garis keturunan. Meratapi kematian dan hanyut dalam kesedihan adalah terlarang. Euforia kemenangan masa lalu bisa ‘membunuh’ masa depan. Lalu menyebut kalender Islam dengan nama seseorang khawatir mengandung unsur kultus dan pemujaan.
Maka peristiwa hijrah sebagai dasar penetapan perhitungan tahun Islam mengajarkan pentingnya pengorbanan untuk konsisten (istiqomah) dalam keyakinan (akidah). Karena kemuliaan seseorang bukan diukur dari harta yang melimpah, pangkat, kedudukan, atau garis keturunan, melainkan dari ketakwaan (lihat QS. Al Hujarat: 13). Kaum Muhajirin rela meninggalkan simbol duniawi berupa harta dan tempat tinggal di kota Makkah untuk hijrah ke kota Madinah demi Islam dan keselamatan akidah.
Semangat hijrah itulah yang harus ditransformasi dalam kehidupan kita saat ini. Bahwa kejayaan dan kemuliaan umat Islam hanya dapat diraih dengan hidup secara islami, berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Sebaliknya, sumber kehinaan bagi umat Islam apabila terjangkit penyakit wahn, yakni cinta dunia (hubbud dunyaa) dan takut mati (wakaraa hiyatul maut). Dalam hadis riwayat Imam Ahmad, Rasulullah mengingatkan,
“Allah Ta’ala tidak akan mencabut kehinaan itu di tubuh kaum Muslimin sampai mereka kembali kepada urusan agama mereka.”
Kedua, pentingnya muhasabah. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok” (QS. Al-Hasyir: 18). Setiap diri tak ingin merugi. Tertipu dengan dunia dan perjalanan waktu. Oleh sebab itu, ia harus mengevaluasi diri (muhasabah) apa yang telah dipersiapkannya hari ini (di dunia) untuk hari esok (akhirat).
Ada tiga kunci keberuntungan hidup manusia. Rugi di dunia dan akhirat manusia yang melalaikannya. Hal ini dijelaskan oleh Allah SWT dalam satu surat yakni surat ‘waktu’ Al-‘Asr [103]. Inilah yang seharusnya menjadi fokus muhasabah untuk mencapai kualitas hidup yang lebih bermakna dan menjadi modal semangat hijrah pula.
Pertama, aamanu (akidah). Rusaknya sendi kehidupan berupa defisitnya moralitas, terjadinya kemaksiatan, kemunkaran, dan hilangnya rasa malu disebabkan rusaknya akidah. Akhirnya, tidak lagi tertarik dengan kebaikan yang diperintahkan oleh Allah SWT, justru sebaliknya melanggar hal yang dilarang oleh-Nya. Sebab itu konsep akidah yang benar hanyalah tauhid. Penyelewengannya syirik. Dan akidah itu harus dibangun di atas ilmu. Allah SWT berfirman, “Maka berilmulah (tentang tauhid) bahwasanya tidak ada tuhan yang pantas diibadahi kecuali Allah” (QS. Muhammad: 19).
Kedua, aamilus sholihaati (beramal sholeh). Banyak orang beramal tanpa didasari ilmu dan menyangka telah berbuat baik, serta berkhayal dengan balasan pahala. Sebab itu penting beramal dengan ittiba’ (mengikuti) Rasulullah. Sebab agama Islam telah sempurna dan amalan apa yang menjadi sebab mengantarkan kita ke surga telah diajarkan oleh Rasulullah. Allah SWT mengingatkan, “Orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan di dunia, sedangkan mereka menyangka telah berbuat sebaik-baiknya” (QS. Al Kahfi: 104). Allah SWT juga berfirman, “Pahala itu dari Allah, bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong” (QS. An Nisa: 123).
Ketiga, saling menasihati untuk kebenaran dan bersikap sabar terhadap berbagai cobaan (wa tawaashaubilhaqqi wa tawaashaubishabri). Keimanan dan kesalihan personal tidak sempurna di sisi Allah SWT, sampai adanya upaya transformasi untuk mewujudkan kesalihan sosial. Di sini pentingnya dakwah atau saling menasihati antarsesama serta bersabar menjalani itu semua. Allah SWT berfirman, “Sebab itu tetaplah memberi nasihat (peringatan), karena peringatan itu bermanfaat” (QS. Al A’la: 9).
Itulah tiga fokus muhasabah yang harus menjadi perhatian dalam memaknai hijrah, agar manusia tidak merugi dalam ruang dan waktu yang diberi. Inilah semangat hijrah yang dapat kita petik. Dimana kualitas akidah, amal shalih, dan spirit dakwah harus tetap terjaga. Sehingga kita benar-benar layak menjadi kuntum khairu ummah yang dimunculkan Allah dikalangan manusia, yang selalu mengajak kepada kebaikan, mencegah kemunkaran, dan kokoh di atas keimanan kepada Allah SWT (lihat QS. Ali Imran: 110). Wallahu A’lam.
Oleh: Lidus Yardi
Sekretaris Majelis Tabligh PD Muhammadiyah Kuansing, Riau
KOMENTAR