Berdagang atau berbisnis dengan segala macam aktivitasnya adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas sehari-hari kita. Namun sayangnya praktek berdagang, berbisnis yang sesuai dengan nilai, norma dan aturan Islam masih belum banyak diamalkan oleh umat Islam. Salah satu di antara penyebabnya adalah masih banyaknya umat Islam yang belum tahu atau paham tentang bagaimana berdagang, atau berbisnis yang sesuai dengan tuntunan dan ajaran Islam.
Apalagi salah satu problem ekonomi, baik di zaman klasik bahkan juga di era modern adalah adanya dikotomi antara ekonomi dan etika. Masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi tidak begitu mendapat tempat. Tidak aneh bila masih banyak ekonom kontemporer yang menggemakan cara pandang ekonom klasik Adam Smith. Mereka berkeyakinan bahwa sebuah bisnis tidak mempunyai tanggung jawab sosial dan bisnis terlepas dari “etika”. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Di Indonesia, paham klasik tersebut sempat berkembang secara subur di Indonesia sehingga mengakibatkan terpuruknya ekonomi Indonesia ke dalam jurang kehancuran. Kolusi, korupsi, monopoli, penipuan, penimbunan barang, perusakan lingkungan, penindasan tenaga kerja, perampokan bank oleh para konglomerat, adalah persoalan-persoalan yang begitu telanjang di depan mata kita, baik yang terlihat dalam media massa maupun media elektronik. (Aris Baidowi: 2011)
Contoh lain, pada bulan Ramadhan kemarin ramai diberitakan tentang warteg Saeni yang dirazia oleh satpol PP Tangerang karena buka pada siang hari di bulan Ramadhan. Setelah razia tersebut dikabarkan bahwa Bu Saeni mendapatkan bantuan dari orang nomor satu di Indonesia dan masyarakat Netizen Indonesia, bahkan ada pihak yang ingin perda Pekat no 12 Tahun 2010 di cabut. Selain itu, dunia maya dihebohkan dengan adanya restoran yang menjual makanan dengan memakai wadah kloset WC. Dulu sempat juga beredar keripik setan, bahkan ada baso yang bernama baso astagfirullah. Ada juga bihun kekinian yang covernya adalah bra dan bikini perempuan.
Dampak dari tidak adanya etika atau akhlak dalam bisnis atau perdagangan adalah apabila masyarakat bisnis tidak menghormati etika bisnis, maka tidak jarang bisnis yang prospektif sekalipun akan mengalami penurunan atau malah kebangkrutan. Sebagai ilustrasi, perhatikan bahwa 67 perusahaan baja di Indonesia bangkrut karena persaingan tidak sehat dari 201 perusahaan di tahun 2001, pada tahun 2006 tersisa 134 perusahaan. Menurut Ketua gabungan Asosiasi Pengusaha Besi dan Baja (Bapesi) bahwa kondisi pasar yang tidak sehat dikarenakan maraknya produk baja non-standar dipasaran. Banyak baja yang dikurangi ketebalannya hingga 10 milimeter, praktek ini tentu saja merugikan pengusaha yang mengikuti standar begitu juga konsumen secara keseluruhan. Kasus bangkrutnya sejumlah perusahaan baja di Indonesia, ini jelas disebabkan rendahnya etika bisnis yang antara lain terungkap dalam bentuk pengurangan ketebalan besi yang mencapai sekitar 10 mm. Akibat kecurangan ini, terjadi perang harga dan kepercayaan konsumen pun terhadap produk lokal kian merosot. Oleh karena itu maha benar Allah SWT dalam firman-Nya yang termaktub dalam QS. Al Muthaffifin: 1-5. (Amin Suma: 2008).
Islam adalah agama yang tidak mengenal dikotomi antara ekonomi dengan agama, antara bisnis dengan akhlak atau etika. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT. yang termaktub dalam QS. Al Muthaffifîn: 1-5. Selain itu, dalam Islam, ajaran tentang nilai dan akhlak menempati peringkat pertama. Salah fungsi dan tujuan utama Allah SWT. mengutus Nabi Muhammad saw. adalah untuk menyempurnakan akhlak umat manusia, di antara mereka adalah para pedagang, pebisnis dan pengusaha. Dalam hadits riwayat Imam Ahmad dari Abû Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Hanyasanya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik."
Ditinjau dari segi maqasid sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Wahab Khalaf bahwa tujuan umum Allah swt mensyariatkan hukum-hukum Islam adalah demi untuk tercapainya kemaslahatan manusia, yaitu dengan terjaminnya dharuriyah (masalah pokok) manusia, terjaganya hajiyyah (kebutuhan) dan tahsiniyyah mereka. Tahsiniyyah adalah maqâsid yang berkaitan dengan akhlak dan etika. ‘Allâl al-Fâsi mengatakan bahwa akhlak mulia adalah timbangan setiap kemaslahatan dan dasar setiap tujuan dari tujuan-tujuan Islam. Ibn ‘Âsyûr mengatakan bahwa maslahat tahsîniyyah adalah yang dengannya sistem kehidupan manusia sempurna sehingga ia bisa hidup dengan aman dan tentram.
Akhlak dan atau etika dalam perdagangan dan bisnis adalah sangat penting karena ia sangat menentukan maju atau mundurnya perusahaan. Apabila etika atau akhlak bisnis terjaga maka akan tercipta perdagangan yang fair dan adil serta persaingan bisnis dan pasar yang sempurna. Akhlak dan etika sangat penting untuk diterapkan dalam bisnis supaya manusia terjaga dalam kefitrahannya dan jauh dari celaan. Selain itu juga ia berpengaruh terhadap keabsahan transaksi bisnis, karena ketiga maqâsidh tersebut, yaitu dharuriyyah, hajiyyah dan tahsiniyyah tidak berdiri sendiri, namun saling melengkapi. Menjaga tahsîniyyah adalah salah satu bentuk menjaga hâjiyyat dan dharûriyyat.
Etika atau akhlak adalah fitrah dan naluri manusia, jika manusia tidak beretika atau berahklak maka apa bedanya ia dengan hewan? Apalagi ditinjau dari maqâsidh syarîah, etika atau akhlak bisnis merupakan salah satu tujuan syariah, yaitu menjaga agama. Para ulama mengatakan bahwa ajaran Agama Islam terbagi menjadi empat bagian, aqidah, ibadah, muamalah dan akhlak.
Mencari dan mendapatkan profit yang sebesar-sebesarnya tidaklah dilarang, namun ia bukanlah segala-segalanya, bukan tujuan utama dalam bisnis, oleh karena itu dalam berbisnis harus memperhatikan etika, norma, akhlak dan aturan agama. Menjaga agama adalah maqâsidh (tujuan) pertama, sedangkan menjaga harta adalah maqâsidh terakhir. Jangan sampai menjadi pebisnis dan pedagang yang ketika dibangkitkan adalah pedagang dan pebisnis yang durhaka. Dari Rifa’ah bin Rafi bahwa Rasulullah SAW. bersabda “para pedagang dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan durhaka kecuali yang bertaqwa pada Allah, berbuat baik dan bershadaqah” (HR. al-Hakim).
Oleh: Atep Hendang Waluya, M.E.I - atephendang.net
KOMENTAR