Allah SWT telah menyebutkan kriteria orang yang berhak dipanggil sebagai hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang alias ‘ibaadurrahman itu. Di antarannya, mereka memiliki harapan agar menjadi imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa (lihat QS Al Furqan [25]: 74). Suatu harapan yang tinggi dan berkelas, bukan murahan. Sekali lagi, menjadi imam bagi orang-orang bertakwa, bukan imam orang-orang biasa.
‘Ibaadurrahman itu berkata, sebagaimana difirmankan Allah SWT: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami, dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS Al Furqan [25]: 74).
Orang-orang yang disebut ‘ibaadurrahman itu berharap agar isteri-isteri mereka, anak-anak keturunan mereka, atau keluarga mereka, menjadi penyenang hati (qurratu a’yun) dan pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.
Untuk menjadi pemimpin bagi orang-orang bertakwa tentu terlebih dahulu bertakwa, bahkan harus lebih bertakwa. Lalu, siapa orang-orang yang bertakwa itu? Mereka adalah orang-orang yang paling mulia di sisi Allah. Mereka laksanakan perintah Allah dan mereka tinggalkan larangan Allah. Mereka lakukan itu karena Allah dan dengan cara-cara yang dikehendaki Allah, sesuai dengan kemampuan mereka. Semakin bertakwa, maka semakin mulialah mereka di sisi Allah (lihat QS Al Hujarat: 13).
Seorang Muslim tidak saja wajib dan mewajibkan dirinya bertakwa kepada Allah, tapi juga berharap menjadi pemimpin bagi orang-orang bertakwa. Inilah cita-cita mulia yang harus dimiliki dan diupayakan semampunya oleh setiap Muslim yang ingin dikatakan ‘ibaadurrahman. Dan cita-cita itu harus dimulai dan menjadi komitmen setiap keluarga Muslim. Seperti yang telah difirmankan oleh Allah di dalam Alquran tentang perkataan ‘ibaadurrahman itu.
Orang yang berkualitas memang layak menjadi imam bagi makmum yang berkualitas pula. Maka, sungguh ironi, jika ada orang Muslim yang mulia di sisi Allah, sebaik-baik umat (kuntum khairu ummah) yang dimunculkan oleh Allah di kalangan manusia, dengan meyakini kalimat laa ilaaha illallah dijamin Rasulullah masuk surga, justru ingin menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpinnya. Rela menjadi makmum ahli kitab dan pelaku kesyirikan, yang disebut Allah sebagai ‘seburuk-buruk makhluk’ (lihat QS Al Bayyinah: 6).
Seorang Muslim harus menjadi imam bagi orang-orang bertakwa, bukan sebaliknya justru menjadi makmum orang-orang kafir. Saat seorang Muslim memilih dan mendukung orang kafir, atau menjadi tim sukses orang kafir untuk menjadi imam atau pemimpinnya, saat itu sadar atau tidak ia telah melacurkan marwah dirinya sebagai seorang Muslim.
Adalah aneh, di saat umat Islam sebagai mayoritas justru masih ada kaum Muslimin yang memilih dan bangga menjadi makmum orang-orang kafir yang minoritas. Terlebih lagi yang dijadikan imam dari kalangan orang-orang kafir itu dikenal tidak baik tutur katanya, kasar bawaannya, menghina agamanya, dan tidak berpihak kepada masyarakat bawah. Namun, keanehan itu tidak mengherankan kita tatkala ghirah dan izzah sebagai Muslim telah hilang di dada. Ia bisa menjual agamanya dengan harga murah demi kepentingan dunia sesaat yang hina.
Jika Allah membenci orang-orang kafir dan kekafirannya, maka tidak sepantasnya seorang Muslim justru memuliakan orang kafir apalagi mengangkatnya menjadi pemimpin kaum Muslimin. Cukuplah bagi orang yang memiliki iman dan pandangan ke depan peringatan Allah, bahwa orang-orang kafir Nasrani dan Yahudi tidak akan pernah senang terhadap kaum Muslimin sampai millah mereka diikuti (lihat QS Albaqarah: 120). Peringatan Allah itu telah terbukti sepanjang sejarah. Di mana saja kaum Muslimin menjadi minoritas akan ditindas oleh orang-orang kafir yang mayoritas.
Kepemimpinan di dalam Islam hakikatnya adalah washilah (perantara) Allah yang bertugas untuk menegakkan hukum Allah atau agama Islam di bumi (iqamah al din al-Islamy). Islam sebagai rahmat bagi semesta alam akan efektif terealisasi di tengah masyarakat melalui jalan kepemimpinan. Lalu, bagaimana mungkin nilai-nilai syariat Islam dapat terlaksana di tengah masyarakat kalau yang dijadikan pemimpin dari kalangan orang-orang kafir?
Ibnu Mundzir, sebagaimana dikutip oleh Dr Tiar Anwar Bachtiar (2016), berkata, “Seluruh ahli ilmu bersepakat bahwa orang kafir sama sekali tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum Muslim dalam keadaan apapun” (Ahkam Ahl Al-Dzimmah li Ibn Qayyim Al-Jauziyyah jilid II hlm 414).
Peluang Demokrasi
Namun, saat umat Islam telah kehilangan kepercayaan diri, ghirah (semangat), izzah (kemuliaan), dan tidak memiliki keinginan untuk bersatu menjadikan calon pemimpin Muslim menjadi pemimpin, maka jadilah umat Islam sebagai pecundang bak buih di tengah lautan yang diombang-ambingkan tanpa pegangan dan arah tujuan. Akhirnya, tidak heran, di tengah umat Islam sendiri muncul dengan bangganya orang-orang yang mendukung calon kafir menjadi pemimpin.
Padahal, Allah SWT telah berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai (mengalahkan) orang-orang yang beriman” (QS An-Nisa: 141). Tapi, kini justru orang-orang yang mengaku beriman itu yang memberi jalan dengan mendukung dan bahkan menjadi tim sukses agar orang kafir mengalahkan orang-orang yang beriman.
Untuk ironi inilah kita layak beristighfar dan “qunut nazilah” seraya berdo’a sebagaimana do’a Rasulullah SAW:
“Ya Allah, perlihatkanlah kepada kami kebenaran itu sebagai kebenaran, dan karuniakanlah kami kemampuan untuk mengikutinya. Dan perlihatkanlah kepada kami kebatilan itu sebagai kebatilan, dan karuniakan kami kemampuan untuk menjauhinya. Dan janganlah Engkau jadikan kebatilan itu seakan kebenaran sehingga kami tersesat karenanya. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”.
Bukan menjadi makmum bagi orang-orang kafir! Wallahu A’lam.
Oleh Lidus Yardi - Sekretaris Majelis Tabligh PD Muhammadiyah Kuansing, Riau
KOMENTAR