Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan At-Tirmidzi dikatakan bahwa “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim.” Itu artinya mengoreksi penguasa merupakan bentuk jihad dalam politik. Jihad politik ini tidak mungkin lahir tanpa sebuah kesadaran berpolitik.
Dalam sebuah kisah dikatakan bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq RA pernah membuat semacam ‘taruhan’ untuk peperangan antara Romawi dan Persia yang berada jauh dari Mekkah. Padahal, saat itu secara sekilas tidak Nampak berkaitan dengan kehidupan para Sahabat Nabi di Mekkah. Hal ini membuktikan bahwa Abu Bakar r.a memiliki kesadaran politik yang cukup tinggi.
Muhammad Muhammad Ismail dalam kitab al-Fikru al-Islamiy menyebutkan bahwa kesadaran politik (wa’yu siyasi) haruslah terdiri dari dua unsur. Pertama, kesadaran itu haruslah bersifat universal atau mendunia (internasional); yakni bukan kesadaran yang bersifat lokal semata. Kedua, kesadaran politik yang dimiliki harus berdasarkan sudut pandang yang khas (zawiyatun khashshah).
Rocky Gerung dalam beberapa kesempatan mengungkapkan bahwa ada 2 atau 3 partai internasional yang ikut berkompetisi dalam Pemilu dinegeri kita. Sebut saja Partai Komunis China dan Partai Republik Amerika. Kedua partai tersebut menitipkan kepentingannya melalui berbagai isu dan gagasan yang dibawa oleh parpol peserta pemilu.
Tanpa kesadaran politik, kita tidak akan bisa memahami bahaya laten yang mengancam negeri ini. Tanpa kesadaran politik, kita juga tidak bisa membaca kepentingan pihak asing dalam pertarungan politik dalam negeri.
Momentum Pilkada Jakarta
Dr Jeje menjelaskan, isu SARA dalam Pilgub DKI berkaitan dengan masa depan jangka panjang Negara Kesatuan Republik Indonesia dan nasib anak cucu kaum pribumi di masa yang akan datang. “Setelah kita dipecundangi secara yuridis dengan dihapusnya persyaratan Agama Islam dan Pribumi aseli bagi seorang Presiden dari undang-undang kita, maka apakah muslim pribumi Indonesia juga akan mau dipecundangi dalam tataran politik praktis dan dikuasainya kepemimpinan nasional?” tegas ulama asal Tasikmalaya itu.
Untuk itu, Pilgub Jakarta yang isunya didominasi kandidat petahana sebagai calon kuat, memang patut menjadi perhatian para ulama dan tokoh Islam. “Bagaimana tidak, jika Ibukota negeri muslim terbesar di dunia ini sudah dipimpin seorang non muslim, berarti tinggal selangkah lagi pimpinan nasional negara kita juga akan mereka rebut,” tandasnya.
Lebih lanjut ia menghimbau umat untuk menjadikan kasus Pilgub DKI sebagai momentum membangun kesadaran politik masyarakat Islam indonesia. “Melaksanakan dan membela agama tidak cukup dengan taat sholat dan puasa tapi juga menyiapkan kader-kader umat terbaik untuk jadi para pemimpin,” pungkasnya.
Rangkaian Aksi Bela Islam, dipenghujung tahun 2016, mulai dari Aksi 411 dan 212, menuntut pemenjaraan Gubernur Jakarta Basuki Tjahja Purnama (a man called Ahok) karena dianggap melakukan “penistaan agama.” Meskipun, pimpinan dua Ormas Islam besar yakni Muhammadiyah dan NU, menyatakan tidak terlibat dan sempat menyerukan anggotanya untuk tidak ikut dalam aksi tersebut, akan tetapi fakta berkata lain. Umat Islam dari masing-masing organisasi justru menganggap bahwa aksi massa tersebut merupakan sebuah perjuangan membela Islam. Ini adalah ekspresi sederhana yang merupakan tanda munculnya kesadaran politik.
#AksiBelaIslam #AksiSuperDamai212 dan #BelaQuran benar-benar ibarat super magnet yang luar biasa, sebuah magnet yang mampu menarik dan menghadirkan semua individu mukmin dari lintas organisasi masyarakat, tidak memandang suku, ras bahkan agama sekalipun. Momentum pembelaan terhadap agama ini betul-betul menjadi momentum politik yang luar biasa.
Saat mengupayakan penahan terhadap Ahok, umat Islam merasakan betul adanya ketidakadilan. Mereka yang terlibat dalam #AksiBelaIslam bahwa mencium adanya kekuatan besar yang melindungi Ahok karena proyeksi politik jangka panjang. Oleh karena itu, tidak selesai dan berhenti pada penahanan Ahok, ada bahaya lain yang mengancam umat Islam.
Umat Islam mulai sadar bahwa entitas mereka terancam bukan hanya semakin banyaknya politisi dan pejabat yang tidak mengabaikan syariat Islam. Akan tetapi, mereka melihat adanya upaya untuk menghilangkan eksistensi umat Islam dari negeri ini. Kyai Ahmad Dahlan pernah berpesan, “Islam tidak akan hilang di bumi ini, akan tetapi bisa hilang di bumi Indonesia ini.”
Hingga tahun 2017, media sosial ramai oleh kampanye hastag #BelaIslam. Bahkan Aksi 212 telah menjadi monumen kesadaran politik yang melahirkan entitas baru. Entitas baru pun muncul dari para alumni dan pendukung aksi ini. Tidak hanya berhenti pada kasus Ahok, mereka berkumpul untuk membentuk serikat ekonomi dan aliansi politik. Tidak butuh waktu lama untuk melakukan konsolidasi, mereka membentuk Koperasi Induk 212 yang menjadi pondasi dari kelahiran Minimarket 212 diberbagai daerah. Diantara mereka ada pula yang sempat menelurkan gagasan pembentukan partai baru, namun gagal. Yang terbentuk setelah itu adalah aspirasi politik untuk ‘menenggelamkan’ partai pendukung penista agama. Dibawah arahan para ulama dan tokoh masyarakat yang tergabung dalam GNPF Ulama dan eksponen alumni 212, aspirasi ini melahirkan ijtima’ untuk mendukung salah satu calon presiden.
Entitas baru ini sekarang telah melahirkan aliansi politik yang berhadap-hadapan dengan apa yang mereka sebut dengan partai pendukung penista agama. Entitas ini juga yang selanjutnya kerap berteriak saat terjadinya “gangguan dan usikan” pada Islam seperti kasus Puisi Soekmawati hingga kasus pembakaran bendera Tauhid.
Reuni 212: Monumen Politik
Anggota Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Musim Indonesia (ICMI), dr Fuad Amsyari, Ph.D dalam talkshow Ranah Publik Suara Muslim Surabaya 93.8 fm (7/12) mengatakan, peristiwa Reuni 212 merupakan hal yang sangat mengharukan, kegiatan itu dimaksudkan sebagai ajang silaturahim bagian dari upaya mempererat persaudaraan di antara sesama umat Islam. “Saya melihat reuni 212 suatu kebangkitan kesadaran politik, ternyata umat Islam dapat guyub jika ada sesuatu yang dirasa menganggu,” tuturnya.
Fuad menilai, politik itu bagaimana mengurus, mengelola, sebuah masyarakat yang plural dengan kebenaran yang diajarkan Allah SWT. Politik itu how to govern, who will govern. Siapa yang akan mengurus dan bagaimana caranya mengurus sebuah masyarakat? “Islam harus berpolitik, di samping dakwah dalam bentuk nasihat, dalam jihad ada politik, memakai kebenaran untuk mengelola sebuah negara. Di situlah esensi dalam Islam, memberikan sumbangsih dari Islam untuk masyarakat yang beragam,” jelas Fuad yang pernah menjadi Dewan Penasihat KAHMI Nasional (2009-2013).
Reuni 212 menjadi menarik sebab terjadi menjelang tahun politik. Aksi 212 juga sangat fenomenal hingga para alumninya rindu melakukan reuni setiap tahunnya. Reuni 212 sudah menjadi monument kesadaran politik yang melahirkan entitas pembela Islam. Hal ini mengingatkan kita pada pergolakan politik zaman Mohammad Natsir. Natsir adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Tahun 1929 Natsir turut serta dalam pembentukan Komite Pembela Islam. Komite inilah yang mencounter pergerakan zending Kristen, sekularisme dan penghinaan pada Quran. Hingga pada akhirnya, Natsir berjuang di bidang politik melalui parlemen via partai Masyumi. Natsir dan Masyumi adalah ikon keakraban antara ulama dan politik.
Peran Ulama dan Politik
Ada juga yang memaknai ulama sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam, orang yang memahami syariat Islam secara kaaffah (menyeluruh) atau orang yang bisa menjadi teladan umat Islam dalam memahami serta mengamalkan ajaran agama Islam.
Ulama sebenarnya adalah orang biasa yang menjadi bagian dari masyarakat. Perbedaan atau istimewanya ulama dibanding dengan orang lain adalah mengenai pengetahuannya tentang agama. Pengetahuan atau pemahaman dan pengamalan mereka tentang Islam sangatlah luas.
Ulama tidak hanya memakai ilmu yang dimiliki hanya untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi juga disebarkan kepada kemaslahatan masyarakat.
Ulama memiliki peran yang sangat besar dalam berbagai peristiwa sejarah. Bahkan nyaris tidak ada satu pun perubahan di dunia ini yang tidak melibatkan peran ulama, termasuk dalam kehidupan politik. Mereka jugalah orang pertama yang menumbuhkan kesadaran berpolitik masyarakat hingga masyarakat memiliki kesadaran untuk melakukan perubahan secara politik.
Pada abad XV di Pulau Jawa, khususnya di wilayah pesisir utara Pulau Jawa, terjadi pergeseran pusat aktivitas politik, dari corak Hindu-Budha bergeser ke corak Islam. Perkembangan politik Islam di Indonesia tampak semakin jelas dengan berdirinya kerajaan Demak di Jawa Tengah. Bagi kepala-kepala pemerintahan di wilayah Pulau Jawa, Islam bukan saja dipandang sebagai agama, tetapi juga sebagai sarana untuk mendapatkan legitimasi politik. Hal ini terbukti dengan pemakaian gelar yang disesuaikan dengan istilah-istilah dalam Islam, misalnya gelar Sultan atau sebutan-sebutan untuk gelar-gelar yang lainnya.
Di samping itu, penobatan para raja dilaksanakan oleh para ulama. Masalah-masalah politik pun diselesaikan oleh raja dan ulama dengan jalan agama Islam, begitu juga masalah-masalah kehidupan di bidang yang lain. Keberadaan Kerajaan Demak sendiri tidak lepas dari peranan Wali Songo, yaitu ulama-ulama penyebar agama Islam di pulau Jawa pada abad ke 14.
Ulama sebagai pewaris Nabi, tidak bisa dipisahkan dengan dunia politik. Dunia politik akan gelap, hilang arah dan pegangan apabila ulama tidak hadir dalam dunia politik. Dari Anas bin Malik bahwa Rasul saw bersabda : "Permisalan para ulama` di bumi seperti bintang-bintang di langit, digunakan sebagai petunjuk dalam kegelapan daratan dan lautan. Jika bintang-bintang itu hilang, dikhawatirkan orang-orang yang mencari petunjuk menjadi sesat." (HR. Ahmad).
Bangkitnya Kesadaran Politik
Dalam fatwa MUI tentang keharaman golput, MUI mengajak agar umat Islam Indonesia memberikan suaranya dalam even pemilu. Secara tidak langsung MUI tidak berharap di Indonesia lahir pemimpin atau wakil rakyat yang tidak mendapat legitimasi dari rakyat. Karena banyaknya pemilih yang golput.
Fatwa ini memang mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Sebagian memandang fatwa ini diperlukan guna mendorong partisipasi masyarakat untuk memilih wakil rakyat dalam pemilu. Di tengah kegundahan masyarakat terhadap maraknya berita wakil rakyat yang melanggar hukum, masyarakat perlu suntikan untuk memulihkan kepercayaan mereka akan pentingnya wakil rakyat.
Namun sebagian juga memandang negatif terhadap fatwa haram golput ini. Ada yang menilai MUI memaksa umat melaksakan hal yang memang semestinya tidak perlu diwajibkan. Bagi sebagian kalangan, pemilu adalah hak, bukan kewajiban. Bahkan, menurut mereka, pemilu yang merupakan ciri khas demokrasi, juga mengenal istilah abstain, atau tidak memberikan suara (golput).
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, keterlibatan para ulama, terlebih khusus MUI, dalam perpolitikan adalah tonggak dari bangkitnya kesadaran politik umat Islam. Mari kita cermati dua diktum utama dalam fatwa MUI tentang masa’il asasiyah wathaniyah (Masalah Strategis Kebangsaan) ini. Misalnya di butir ke-4 yang menyatakan bahwa : Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq), tepercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan(fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam, hukumnya adalah wajib. Butir ini menegaskan komitmen MUI untuk mendukung lahirnya wakil rakyat atau pemimpin yang benar-benar berkualitas. Landasan religius ini diharapkan akan menjaga seorang wakil rakyat atau pemimpin dari melanggar aturan agama.
Kemudian pada butir ke-5 disebutkan, Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali padahal ada calon yang memenuhi syarat, hukumnya adalah haram. Butir ini kembali menegaskan agar selektif dan teliti dalam memilih calon. Jangan sampaikita asal coblos saat di bilik suara nantinya. Selagi masih ada waktu, coba kita telisik informasi tentang calon-calonyang maju sebagai calon wakil rakyat. Kriteria yang ditawarkan dalam butir ke-4 fatwa MUI ini bisa dijadikan acuan.
Kemudian pada pertengah Maret 2014 ini, MUI mengeluarkan fatwa keharaman transaksi politik uang dalam pemilu. Ketua umum MUI, Din Syamsudin, dalam jumpa pers mengatakan, "Harus dihindari dan ditolak politik uang. Fatwa Majelis Ulama Indonesia politik uang adalah haram karena termasuk risywah. Pemberi dan penerimanya dilaknatAllah SWT. Sebagaimana hadis Nabi, La'natullahi 'ala-rosyi wa-murtasyi fil hukmi."
Berkenaan dengan itu, Ketua MUI Umar Syihab menerangkan, bahwa politik uang yang dimaksud MUI jangan diartikan hanya uang semata, namun bisa juga berarti transaksi suara rakyat dengan pemberian proyek pembangunan fisik, pembangunan jalan, jembatan dan sebagainya. Lebih detail lagi dikatakan Umar, "Apabila sudah didasarkan niat transaksional untuk menghargai suaranya, dengan proyek pembangunan, maka itu dapat diartikan minta disuap. Dan yang seperti itu juga perbuatan tercela dan dilaknat Allah."
Jadi jelas, mempertimbangkan perspektif MUI diatas, dan kesadaran politik pasca 212, umat Islam tidak boleh hanya aktif dalam pemilu serentak, tetapi juga harus mulai menyiapkan kader-kader kebangsaan yang nantinya dapat dipercaya mengemban amanah politik kenegaraan. Kita semua mempunyai tanggung jawab untuk ikut menjaga keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. I'maluu fasayarallah 'amalakum! [red]
KOMENTAR