Langkah dakwah Muhammadiyah memang selalu menarik untuk diikuti. Terkadang dakwah itu hadir justru ditengah himpitan yang nyata, pertentangan yang terbuka. Bukankah K.H. Ahmad Dahlan sendiri yang mengalaminya? Bukankah impian Kiyai Syuja untuk mendirikan rumah sakit dahulu diragukan orang Muhammadiyah sendiri? Kini Muhammadiyah menjadi salah satu ormas Islam yang dikenal dengan pelayanan pendidikan dan kesehatannya.
Itu sebabnya jejak langkah Muhammadiyah begitu menarik untuk diabadikan dalam lembar catatan sejarah. Kiprah dakwah Muhammadiyah yang meliputi beragam aspek, dari pendidikan sampai politik, dari rumah sakit hingga parlemen membuatnya menjadi satu kajian sejarah yang menarik.
Dr. Alfian misalnya menulis tentang politik Muhammadiyah di masa kolonial. Atau Sejarawan Taufik Abdullah mengupas kiprah politik beberapa tokoh Muhammadiyah Sumatera Barat dalam disertasinya di Cornell University. Bukan saja sejarawan lokal, tetapi peneliti asing pun turut serta dalam penulisan sejarah Muhammadiyah.
Nama Mitsuo Nakamura tentu menjadi nama yang seringkali kita dengar sebagai pakar mengenai sejarah Muhammadiyah. Nakamura yang juga dari Cornell University, meneruskan jejak pelopor kajian Indonesia, yaitu George McTurnan Kahin. Bedanya Nakamura adalah sarjana pelopor non kaukasian yang meneliti tentang Islam di Indonesia.
Nakamura melakukan studi antropologisnya dengan berhubungan dekat dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, salah satunya adalah Abdul Kahar Muzakkir, yang kemudian dituangkan dalam satu kisah biografi singkat berjudul Professor Haji Abdul Kahar Muzakkir dan Perkembangan Gerakan Pembaharu Muslim. Jejak Nakamura kemudian diteruskan oleh James L. Peacock, Herman Beck hingga Hyun-Jun Kim yang semuanya menekuni kajian tentang Muhammadiyah.
Satu hal yang seringkali terluput dari kita adalah penulisan sejarah Muhammadiyah tidak saja dilukiskan oleh para orang-orang di luar Muhammadiyah, tetapi Muhammadiyah juga dicatat jejak langkahnya oleh para tokoh Muhammadiyah itu sendiri. Fenomena ini sungguh menarik, karena tak banyak ormas Islam yang sejarahnya turut ditulis kembali oleh para tokohnya yang terlibat.
Penulisan dari dalam ini memberi perspektif yang bukan saja menarik, tetapi juga kaya dan bermanfaat sebagai pembanding dalam memahami sejarah Muhammadiyah. Penulis dari orang dalam yang terlibat memberi warna akan pengalaman, emosi yang tertuang dari pengalaman langsung para tokohnya.
Nama Kiyai Syuja tentu tak bisa dilepaskan sebagai tokoh-tokoh awal Muhammadiyah yang menulis sejarah tentang berdirinya Muhammadiyah. Karyanya yang berjudul Cerita Tentang Kiai Haji Ahmad Dahlan memberi kita informasi kaya tentang sosok Kiyai Haji Ahmad Dahlan. Maklum, Kiyai Dahlan bukanlah tokoh yang menelurkan banyak karya tulis, sehingga gagasan dan figurnya banyak direkam oleh para muridnya, namun tidak banyak yang menelurkan pengalaman berinteraksi tersebut dalam karya tulis.
Karya kiyai Syuja jelas sekali memberi perspektif yang kaya akan kisah-kisah personal di balik berdirinya Muhammadiyah. Sentuhan personal ini juga yang diberikan oleh Djarnawi Hadikusuma, tokoh Muhammadiyah yang banyak menulis biografi para tokoh Muhammadiyah dalam karyanya yang berjudul Matahari-Matahari Muhammadiyah.
Satu nama lain yang tak bisa dilepaskan dari penulisan sejarah Muhammadiyah dari pandangan ‘orang dalam’ adalah Buya Hamka. Mengupas sosok Buya Hamka menjadi spesial di tahun ini, karena bertepatan dengan 111 tahun lahirnya Buya Hamka. Perjalanan hidup Buya Hamka bukan saja menarik untuk diikuti, tetapi juga dalam maknanya bagi Muhammadiyah.
Buya Hamka bukan saja figur ulama, tetapi juga sastrawan, pernah menjadi politisi, namun sedikit yang menyebutkan bahwa Buya Hamka juga sebenarnya seorang sejarawan. Sosoknya sebagai ulama atau sastrawan barangkali tidak perlu dibahas lagi, namun benarkah ia dapat disebut sebagai sejarawan? Hal ini tergantung bagaimana kita memaknai istilah sejarawan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, misalnya memberi arti sejarawan sebagai “ahli sejarah; penulis sejarah.” Mengacu pada definisi KBBI, setidaknya Buya Hamka adalah seorang sejarawan dalam konteks sebagai penulis sejarah. Jika kita menjelajahi karya-karya beliau, sebetulnya ada banyak karyanya yang mengupas sejarah dan dijadikan rujukan penulisan sejarah.
Karya Buya Hamka yang mengupas sejarah secara khusus diantaranya adalah Sejarah Umat Islam dan Dari Perbendaharaan Lama. Dari Perbendarahaan Lama merupakan kumpulan tulisan Buya Hamka yang bertema sejarah. Karya itu banyak memuat sejarah Islam di tanah air dari berbagai tokoh dan daerah. Sementara itu, Sejarah Umat Islam adalah satu karya yang sebenarnnya dapat dijadikan rujukan awal dalam pengajaran sejarah. Satu hal yang menarik dari karya tersebut, Buya Hamka membahas sejarah Umat Islam dari global menuju ke sejarah nasional.
Model narasi seperti ini mengingatkan kita akan gaya penulisan sejarah yang juga dilakukan di masa lalu, seperti karya Nuruddin ar-Raniri, ulama besar Kesultanan Aceh pada masa Iskandar Tsani, Bustan as-Salatin di abad ke-17. Bustan as-Salatin berkisah dimulai dari sejarah para nabi hingga raja-raja di Kesultanan Aceh.
Begitu pula dengan Babad Diponegoro, satu karya otobiografi Pangeran Diponegoro yang ditulis selama masa pengasingannya di Manado. Karya tersebut membahas bukan saja kisah tentang pengalaman hidupnya, tetapi juga dimulai dari kisah para nabi. Model penulisan sejarah seperti ini memberi makna pada kita bahwa sejarah kita di tanah air sebenarnya tak lepas dari sejarah umat di dunia.
Tulisan bertema sejarah karya Buya Hamka lainnnya yang menarik untuk dikaji adalah otobiografi beliau yang berjudul Kenang-Kenangan Hidup. Karya ini menjadi menarik selain karena kisah pengalaman hidupnya yang kaya, juga sudut pandang yang disajikan oleh Buya Hamka.
Kenang-Kenangan Hidup, meski dapat dikatakan sebuah otobiografi, tetapi disajikan dengan sudut pandang orang ketiga. Sudut pandang orang ketiga ini seakan-akan mencoba menjaga jarak dari apa yang Buya Hamka alami. Meski demikian, amat terasa kayanya pengalaman hidup, emosi, serta kisah haru Buya Hamka sejak masa kecil hingga perantauan dirinya ke Jakarta di tahun 1950-an. Kisah hidup Buya Hamka ini sesungguhnya pun memberi informasi yang kaya akan sejarah Indonesia, khususnya sejarah Minangkabau.
Sejarah Minangkabau bukan saja dapat ditelusuri dari satu karya Buya Hamka, tetapi beberapa karya beliau lainnya, seperti Islam dan Adat Minangkabau, serta satu karya penting lainnya, yaitu Ayahku. Ayahku adalah satu karya Buya Hamka yang bertutur mengenai kisah hidup ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul). Salah satu ulama pelopor gerakan reformasi Islam di Minangkabau. Karya Buya Hamka ini menjadi satu sumber sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan di tengah dominannya sumber kolonial dalam penulisan sejarah Indonesia. Maka tak heran jika sejarawan besar semacam Taufik Abdullah dalam Sekolah dan Politik atau Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 memakai Ayahku sebagai salah sumber sejarah dalam karya mereka.
Dari Ayahku kita dapat menelusuri sejarah lahirnya Muhammadiyah di Minangkabau. Namun tak dapat dikesampingkan satu karya Buya Hamka lainnya yang tak kalah penting sebagai sumber sejarah lahirnya Muhammadiyah di Minangkabau, yaitu: Muhammadiyah di Minangkabau. Satu buku khusus yang dituangkan Buya Hamka mengenai sejarah Muhammadiyah di Minangkabau. Tentu saja yang menjadi kekuatan buku ini adalah sosok Buya Hamka sendiri yang turut mendirikan Muhammadiyah di Minangkabau.
Situasi, suka, duka dan akhirnya kegembiraan berdirinnya Muhammadiyah di Minangkabau dapat kita tangkap dari penuturan Buya dalam buku tersebut. Ia bukan saja mampu menghadirkan kronologi peristiwa, tetapi juga mampu menangkap dan menggambarkan suasana batin para pegiat Muhammadiyah di Minangkabau. Simak misalnya ketika Buya menggambarkan suasana pertama kalinya Kongres Muhammadiyah di luar Jawa, yaitu di Minangkabau pada bulan Maret 1930:
“Pada hari-hari dan minggu kongres, benar-benar ramailah kota Bukit Tinggi. Medan kongres diadakan diatas tanah lapang Atas Ngarai yang indah.Medan Kongres diberi atap pakai gonjong menurut rumah adat Minangkabau.Dindingnya diberi kain warna-warni yang dipinjam dari simpanan pusaka ninik-mamak di Kurai Lima Jorong.Medan kongres dipenuhi suasana Minang.”
Penggambaran yang menggugah tadi tidak akan kita dapatkan dari sumber-sumber kolonial yang biasanya cenderug berupa laporan dinas. Pun interaksi Buya Hamka dengan para tokoh Muhammadiyah atau tokoh bangsa lainnya seringkali memberi kita informasi yang berharga.
Ketajaman Buya Hamka sebagai sejarawan teruji ketika ia menulis satu buku tandingan, untuk membantah sebuah buku yang berjudul Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mahzab Hambali di Tanah Batak, 1816 -1833. Buku yang ditulis oleh Mangaradja Onggang Parlindungan ini berisi tentang tuduhan keji kepada dakwah penyebaran Islam di Tanah Batak.
Buya Hamka kemudian menanggapi buku Tuanku Rao dengan menulis Tuanku Rao: Fakta atau Khayal. Di sinilah Buya Hamka menunjukkan kelasnya sebagai sejarawan. Bukan saja ia mampu mengkiritk argumen Parlindungan, tetapi juga memberi sumber-sumber pembanding dan menelanjangi buku Tuanku Rao milik Parlindungan yang hadir tanpa bukti yang valid. Karya Buya tersebut menunjukkan bahwa beliau bukan saja menguasai sejarah lokal, tetapi juga sejarah dunia Islam pada umumnnya. Tuanku Rao: Fakta atau Khayal berhasil menguak bahwa buku karya Parlindungan hanyalah sebuah pseudo-history atau dalam bahasa Buya Hamka: khayal.
Dari bentangan karya-karyanya, kita bisa saja berbeda pendapat mengenai pantas tidaknya Buya Hamka menyandang gelar sejarawan. Namun kita tidak bisa menyangkal, sosok yang lahir 111 tahun yang lalu tersebut telah berkontribusi besar dalam penulisan sejarah Indonesia, khususnya sejarah Islam di Indonesia.[]
KOMENTAR