$type=ticker$cols=4$label=hide$show=post

[Edisi Terbaru]_$type=three$m=0$rm=0$h=420$c=3$snippet=hide$label=hide$show=home

Meneropong Politik Identitas dan Visi Kepemimpinan

Sebentar Indonesia akan dihadapkan dengan hajatan besar bangsa ini, yakni pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislative (pileg). Tahun ini dilaksanakan secara serentak, namun untuk pileg relatif tidak terlalu memanas sampai lapisan masyarakat paling bawah (grassroot). Berbeda dengan hajatan pilpres yang di tiap 5 tahunnya selalu memanas dengan berbagai isu dan tudingan kepada pasangan calon (paslon). Pertarungan pilpres kali ini mempertemukan kembali dua pasangan calon presiden yang sebelumnya pernah duel di tahun 2014, yakni Joko Widodo dengan Prabowo Subianto.

Masing-masing kubu memiliki pendukung yang cukup setia. Pilpres tahun ini bisa dibilang ronde kedua masing-masing pendukung paslon untuk menggerakkan semua kalangan dari masyarakat kalangan atas hingga masyarakat menengah ke bawah untuk memastikan suara ke paslon yang didukungnya. Namun demikian, dari beberapa pendukung di tahun 2014 kini berputar balik dukungan alias mengalihkan dukungannya ke paslon yang berbeda . Saling melempar tudingan dan ujaran kebencian menjadi lagu yang didendangkan, bahkan isu SARA pun ikut dimainkan dalam kontestasi pilpres yang sengit ini.

Media sosial dalam hal ini turut meramaikan perseteruan antar masing-masing kubu. Jejak-jejak digital mulai diungkap dalam rangka untuk menyudutkan salah satu paslon. Isu hoax menjadi dagangan laris dan tiada habisnya. Masyarakat disajikan dengan berbagai isu kepentingan politik yang cenderung mengarah kepada perpecahan karena perbedaan pilihan. Tentu ini sangat berbahaya, masyarakat kita menjadi kebingungan mana yang dan mana yang salah. Elit politik kita anehnya malah larut dalam perseteruan ini untuk mendukung paslon jagoannya.

Tidak heran sebenarnya ketika ujaran kebencian dipertontonkan, isu-isu hoax disajikan, semuanya dalam rangka untuk merebut margin elektabilitas calonnya. Dalam hal ini, kedua kubu ini nyaris tidak ada bedanya. Keduanya mencari celah kesalahan dari paslon lawannya. Narasi-narasi program kerja dan masa depan bangsa absen untuk dibahas karena tertimpuk oleh bahasan SARA,  hoax yang berkepanjangan dan jauh dari kebermanfaatan.
Bahkan muncul stigma kedua ormas Islam terbesar di Indonesia yakni Muhammadiyah dan NU masuk dalam pusaran pilpres. Salah satu calon wakil presidennya adalah Rais Aam PB NU, maka secara tidak langsung ada anggapan bahwa suara NU akan ke Paslon no urut 01. Padahal khittah NU mengatakan tidak boleh mendukung salah satu paslon. Walaupun kecenderungan mungkin ada.

Lembaga survei Median merilis survei nasional mengenai pasangan capres dan cawapres di Pilpres 2019. Dari hasil survei diketahui, pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin unggul dalam pemilih kalangan Nahdatul Ulama (NU), sedangkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno unggul di pemilih Muhammadiyah.

Berdasarkan data survei tersebut Jokowi di NU unggul 47,6 persen, Prabowo 36,4. Undecidednya 16 persen selisihnya 11,2 persen. Muhammadiyah itu mayoritas memilih Prabowo 62 persen, Jokowi 23 persen, secara persentase sepertinya Muhammadiyah memang lebih mutlak ketimbang besaran NU dalam mendukung Jokowi. Jelas dari Muhammadiyah tidak ada intervensi atau instruksi langsung untuk mendukung salah satu paslon.

Bagaimana dengan Muhammadiyah? Dalam hal politik, Muhammadiyah masih memegang teguh Khittah Denpasar tahun 2002 yang poinnya menjelaskan bahwa Muhammadiyah tidak berpolitik dalam konteks kekuasaan atau politik praktis. Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan partai politik atau paslon manapun. Menurut Dr. Haedar Nashir, Muhammadiyah tidak langsung (berperan) lewat tukar-menukar kekuasaan. Tetapi lewat kekuatan lobby, kita bisa memainkan peran itu. Pak AR dulu melakukan itu. Berdasarkan kepentingan-kepentingan yang bisa kita lakukan. Cara Muhammadiyah berkomunikasi dengan pemerintah adalah secara bermartabat, menjaga marwah dan mengedepankan argumen. Sikap Muhammadiyah yang tidak berpolitik praktis bukan berarti Muhammadiyah tidak bisa memainkan peran strategis dalam mengontrol pemerintahan.

Visi Kepemimpinan dan Pancasila

Pemilihan presiden sudah semakin dekat, masa kampanye masih terus berjalan dalam rangka untuk meningkatkan elektabilitas masing-masing paslon. Politik identitas menjadi isu yang terus digaungkan oleh kedua paslon karena isu tersebut dianggap efektif guna meraih suara masyarakat melalui media sosial. Tidak heran, politik identitas disuguhkan di media sosial dengan tujuan menjaga suara dan mendapatkan suara baru. Kedua paslon tidak mau ambil pusing, politik identitas adalah cara termudah untuk memanaskan suhu masyarakat, ditambah dengan kekuatan media sosial yang sedikit-sedikit langsung viral.

Bermain dengan politik identitas artinya menjauhkan atau bahkan meniadikan bahasan mengenai visi dan misi, gagasan-gasan dan terobosan terbaru untuk membangun negara ini yang jauh lebih substansial. Ruang-ruang dan diskursus tentang program-program unggulan andai kata terpilih menjadi presiden dan wakil presiden absen dalam kontestasi pilpres kali ini. Sehingga visi dan misi kedua paslon hanya menjadi pepesan kosong yang disajikan kepada masyarakat. Masyarakat semakin bingung menentukan pilihan terbaiknya, masyarakat semakin kehilangan arah dalam menentukan sosok yang dipercaya untuk memimpin negara ini karena termakan isu politik identitas yang tiada kunjung reda.

Kepemimpinan di negara Indonesia tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai yang terkandang dalam pancasila. Karena pancasila sebagai sumber dan nilai pokok sekaligus pegangan bagi bangsa ini. Dari kelima sila yang ada di dalamnya mencakup seluruh aspek kehidupan berbangda dan bernegara. Salah satu sila yang sangat penting dan erat kaitannya dengan hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara. Visi kemanusiaan, keadilan, dan keadaban menjadi inti utama dalam membangun Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

Harusnya, diskursus yang dibahas oleh kedua paslon juga para pendukung di belakangnya fokus pada nilai-nilai itu. Bagaimana implementasi dari nilai-nilai yang terkandung pada sila pancasila itu dapat diterapkan, juga dengan penjabaran nilai-nilai pancasila yang diperjelas dalam pasal-pasal yang terdapat di UUD 1945. Bukan malah terjebak pada kepentingan kedua paslon lalu mengabaikan kepentingan bangsa dan negara. Egosentrisme pada jabatan seakan membuat nalar sehat menjadi hilang. Alhasil, politik identitas atau SARA menjadi senjata paling ampuh untuk merebut margin elektabilitas masing-masing paslon. Agama seringkali disudutkan demi kepentingan politik praktis.

Yang jelas, kita tidak boleh missed dalam memahami sejarah. Jangan mau kita dibentur-benturkan dengan persoalan politik dan agama. Kalau kita bicara Pancasila, artinya kita berbicara juga tentang Islam, karena muatan Pancasila sebenarnya nilai-nilai Islam. Drs. Moh Hatta pernah mengatakan “… jika orang ingin memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia, pakailah “ilmu garam, tidak ilmu gincu”. Ketika garam larut dalam makanan, bekasnya tidak kelihatan, tetapi pengaruhnya dalam cita rasa makanan sangat menentukan. Sebaliknya gincu yang dipakai kaum perempuan, terbelalak merah di bibir, tetapi tunarasa…”.

Para pendahulu kita sudah memiliki abstraksi berpikir yang melampaui zamannya. Politik identitas hanya akan memecah belah kita, antara golongan, antar umat beragama, antar sesame umat Islam, bahkan dibentur-benturkan mereka yang mengaku pancasilais dengan mereka yang tidak pancasilais. Bagaimana cara berpikir kedua paslon kita kalau yang ada dipikirannya yang penting menang dan mendapatkan margin elektabilitas? Persatuan dan kesatuan akan menjadi korban.

Lalu bagaimana dengan hak-hak dan kewajiban warga negara yang sudah dijamin UUD 1945, di pasal 28 sampai pasal 34 UU 1945 sangat jelas. Narasi inilah yang harusnya muncul pada setiap bahasan di acara debat dan atau media sosial. Sudah sejauh manakah peran negara dalam memenuhi hak-hak dan kewajiban warga negaranya? Kan seharusnya bahasan ini yang ditunggu-tunggu masyarakat kita. Kepemimpinan 5 tahun ke belakang sudah sejauh mana, kelebihannya dimana dan kekurangannya dimana, sampaikan dan dibahas. Kemudian untuk ke depan target atau program kerja apa dalam memenuhi amanah UUD 1945 terkait hak dan kewajiban warga negara. Apakah pelaksanaannya sudah adil atau merata kah? Apakah juga sudah menghantarkan manusia-manusia Indonesia yang beradab?

Calon pemimpin Indonesia harusnya mampu menyajikan konteks kemanusiaan yang adil dan beradab ini dengan bahasa-bahasa program kerja yang konkret. Nilai-nilai tersebut diturunkan dalam bentuk program-program yang masuk visi dan misi kedua paslon. Setelah itu disampaikan ke warga negara Indonesia dalam rangka meyakinkan mereka dengan bahasa paling sederhana dan logis dalam bentuk program. Bukan sekadar kata-kata normatif yang penuh dengan permainan kata-kata. Tentu akan menjadi menarik kalau kedua paslon mampu menyajikan itu dengan baik, baik di acara debat maupun melalui media sosial. Terutama sila kedua ini, karena sila ini sangat fundamental kaitannya dengan kebutuhan dasar manusia yang harus dilindungi, dipenuhi dan negara menjamin itu.

Lalu bagaimana degan keterlibatan Muhammadiyah dalam hal ini? Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menyelenggarakan Tanwir pada 15-17 Februari 2019 di Bengkulu. Kegiatan tanwir tersebut, mengangkat tema "Beragama yang Mencerahkan". Pemilihan tema tersebut berangkat dari adanya gejala, bahkan realitas, di mana agama seringkali dijadikan instrumen kekuasaan, alat memecah belah, dan komodifikasi politik. Di tengah tahun politik yang semakin memanas ini, maka Muhammadiyah harus turun tangan, mengingat gesekan antar umat Islam semakin masif karena perbedaan pilihan politik.

Diharapkan melalui tanwir tersebut Muhammadiyah mampu memberikan andil terhadap kondisi kebangsaan hari ini, baik melalui sikap, himbauan, ajakan atau menekan semua pihak yang terlibat dalam pesta demokrasi untuk menahan diri, tidak gegabah, tidak saling menuding dan tidak menebar kebencian. Kita semuanya bersaudara, jangan sampai karena hajatan yang diselenggarakan 5 tahun sekali ini membuat kita perpecah belah, terkotak-kotak dan merugikan kita sendiri pada akhirnya. [] Oleh, Abdul Rasyid/ Ketua PK IMM IPB 2016-2018

KOMENTAR


Nama

Buya Risman,36,Edisi Terbaru,39,Ekonomi Islam,8,Ghazwul Fikri,6,Infografis,3,Khazanah,8,Kolom,73,Konsultasi,4,Mutiara Takwa,5,Opini,9,Sains,4,Sajian Khusus,17,Sajian Utama,50,
ltr
item
Majalah Tabligh: Meneropong Politik Identitas dan Visi Kepemimpinan
Meneropong Politik Identitas dan Visi Kepemimpinan
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMMgJPVnBzGTU1LxNVMPI9Ih21mTawwwUd_w-C2jJ9_P7mjZzBPYzwzWVy0y6MViy6csuxxdEjbGKSe7lWsFtru7xEW3tT1FqXxM6ekxiBkQwL1VGB88_7GcV7fsqoRK_A8fBUQp6pNLb6/s320/Paradoks+Politik+Identitas.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgMMgJPVnBzGTU1LxNVMPI9Ih21mTawwwUd_w-C2jJ9_P7mjZzBPYzwzWVy0y6MViy6csuxxdEjbGKSe7lWsFtru7xEW3tT1FqXxM6ekxiBkQwL1VGB88_7GcV7fsqoRK_A8fBUQp6pNLb6/s72-c/Paradoks+Politik+Identitas.png
Majalah Tabligh
https://www.majalahtabligh.com/2019/02/meneropong-politik-identitas-dan-visi.html
https://www.majalahtabligh.com/
https://www.majalahtabligh.com/
https://www.majalahtabligh.com/2019/02/meneropong-politik-identitas-dan-visi.html
true
945971881399728876
UTF-8
Muat semua Tidak ditemukan TAMPILKAN SEMUA Baca lagi Jawab Cancel reply Hapus Oleh Beranda PAGES POSTS Tampilkan semua Rekomendasi untuk Anda UPDATE ARSIP CARI SEMUA POS Not found any post match with your request Kembali Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy