Kalimat tersebut mungkin akan dianggap lumrah jika keluar dari mulut seorang preman. Tetapi jika kata-kata tersebut keluar dari lisan seorang pemimpin, maka hal itu sama sekali bukan termasuk hal yang bijak. Karena pemimpin sejati seharusnya berperan untuk meredam emosi dan mengeluarkan pernyataan yang mempersatukan dan mendamaikan, bukan justru mengarahkan orang kepada konflik dan perpecahan yang bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin terhadap orang mukmin yang lain seperti satu bangunan, sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain.” Dan beliau menjalin antara jari-jarinya. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Musa Al Asy‘ari)
Hadits tersebut memang berbicara tentang keadaan kaum muslimin, tapi jika redaksinya diubah untuk menggambarkan keadaan suatu bangsa, maka kalimat yang tersusun pun juga akan menjadi baik jika bisa diwujudkan. Misalkan menjadi begini,
“Seorang (sekelompok) anak bangsa terhadap anak bangsa yang lain seperti satu bangunan, sebagian mereka menguatkan sebagian yang lain. Sebagaimana pula jalinan antara jari jemari.”
Siapa yang bertugas ‘menyusun’ antar anak bangsa tersebut sehingga menjadi bangunan yang kokoh? Tentu ini menjadi salah satu tugas penting dari pemimpin publik: presiden, gubernur, walikota, bupati dan lain sebagainya. Meskipun para pemimpin publik pada awalnya berasal atau diusung oleh satu komunitas politik tertentu, tetapi dia tidak boleh mengesampingkan dan meninggalkan komunitas lain yang sebelumnya tidak mengusungnya.
Lihatlah Rasulullah SAW, suri teladan terbaik manusia tersebut telah mencontohkan hal ini sejak berabad-abad lalu. Kalau dianalogikan sebagai pengusung, maka Rasulullah SAW berasal dari komunitas orang-orang Muhajirin yang berasal dari Makkah. Rasulullah SAW datang ke Madinah dan disambut oleh orang-orang pribumi yang kemudian dikenal dengan sebutan Anshar. Meskipun berasal dari ‘komunitas’ yang berbeda, Rasulullah SAW dapat menyatukan dua komunitas tersebut, yaitu Muhajirin dan Anshar.
Disinilah tampak nyata bahwa Rasulullah SAW adalah sosok pemimpin pemersatu. Beliau SAW kemudian mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Deklarasi persudaraan ini bahkan diwujudkan Rasulullah SAW dengan mempersaudarakan mereka masing-masing dua dua, satu dari Muhajirin dan satu lagi dari Anshar.
Sebelum Rasulullah SAW mempersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, sejarah juga telah mencatat bahwa beliau telah berhasil mendamaikan dan mempersatukan dua komunitas asli Madinah (Yatsrib) yang sebelumnya terkenal dengan kebiasaan mereka bertikai dan berperang, yaitu Suku Aus dan Suku Khazraj.
Inilah pemimpin sejati, dia selalu melihat perbedaan itu sebagai potensi kebaikan. Seorang pemimpin negara misalnya, jika dia bisa berlaku demikian, maka negara akan menjadi besar. Dia tidak hanya merangkul orang-orang yang satu komunitas atau orang-orang yang setuju dan mendukung dirinya saja dan meninggalkan komunitas yang lain, tetapi semua anak bangsa bisa dirangkul untuk memajukan negara tersebut.
Dalam hal mendengarkan keluh kesah masyarakat, seorang pemimpin juga harus bisa berperan sebagai pemersatu. Artinya dia akan menemui dan mendengarkan siapapun yang hendak memberikan masukan kepadanya, tidak hanya orang-orang yang dianggap pro kepadanya saja. Di suatu negeri antah berantah sudah jamak terdengar ada pemimpin yang saat didemo oleh komunitas profesi tertentu, dia tidak mau menemui. Tapi di saat yang lain, dia malah mengundang komunitas berbeda dengan profesi yang sama, seolah sebagai pembuktian kalau dia sudah menerima aspirasi mereka. Ini bukanlah tipe pemimpin pemersatu.
Saat ramai adanya aksi bela Islam beberapa tahun yang lalu, ada juga pemimpin negeri yang tidak mau menemui para ulama yang ingin berkeluh kesah kepadanya. Tapi di lain kesempatan, dia justru mengundang komunitas ulama lain ke istananya. Cara-cara sektarian seperti inilah yang justru bisa menimbulkan kecemburuan antar ulama, juga dapat memicu perpecahan dan saling curiga di antara mereka.
Rasulullah SAW pun juga pernah ditegur oleh Allah SWT melalui turunnya Al Qur’an Surat ‘Abasa karena mengabaikan orang yang hendak berbicara kepada beliau. Peristiwa ini terjadi saat Rasulullah SAW sedang berdialog dengan para pembesar suku Quraisy, di antaranya Utbah bin Rabi’ah, Abbas bin Abdul Muthalib dan Abu Jahal ‘Amr bin Hisyam. Mereka adalah orang yang punya kedudukan penting di Makkah. Ini adalah pertemuan yang sudah dinantikan Rasulullah SAW. Dialog dengan banyak orang penting dalam satu tempat semacam ini jelas menjadi kesempatan yang tidak akan dilewatkan oleh Rasulullah SAW.
Saat diskusi sedang intens tersebut datanglah Abdullah bin Umi Maktum meminta penjelasan tentang suatu ayat. Karena sedang dalam pembicaraan serius, Rasulullah SAW kurang memedulikan bahkan beliau justru membelakangi Abdullah bin Umi Maktum dan terus berdiskusi dengan tokoh-tokoh Quraisy di depannya. Setelah Allah SWT menegur beliau, Rasulullah SAW selalu menyediakan waktunya untuk Abdullah bin Umi Maktum dan memuliakan sahabat tuna netra itu.
Teladan persatuan juga pernah ditunjukkan Rasulullah SAW dalam perang Hunain. Dalam perang tersebut, atas kebijakan Rasulullah SAW ghanimah atau harta rampasan perang hanya dibagikan kepada kaum Muhajirin dan para tawanan yang dibebaskan, sementara kaum Anshar tidak mendapatkan bagian sedikitpun. Pembagian ghanimah seperti ini memantik kemarahan sebagian kaum Anshar sehingga terucap kalimat yang tidak selayaknya diarahkan kepada Rasulullah SAW yang tentu akan menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin.
Ketika berita tentang kaum Anshar dan ucapan sebagian mereka terdengar oleh Rasulullah SAW, Beliau SAW tidak marah, tetapi mengumpulkan mereka dan bersabda kepada mereka: “Apakah kalian tidak rela orang-orang itu pergi dengan membawa kambing dan unta sementara kalian pergi dengan membawa Muhammad SAW ke rumah kalian? (Bagiku) kaum Anshar itu ibarat pakaian yang menempel di badan sementara orang-orang itu ibarat selimut. Seandainya bukan karena hijrah, tentu termasuk kaum Anshar.” (HR. Al Bukhari)
Kepemimpinan yang mempersatukan ini tidak hanya ditunjukkan Rasulullah SAW antar sesama kaum muslimin saja. Tetapi juga antara kaum muslimin dengan penduduk lain di Madinah meskipun beragama lain. “Piagam Madinah” menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW adalah pemimpin yang mempersatukan. Kandungan Piagam Madinah tidak hanya membicarakan tentang hubungan antara umat Islam, Kaum Muhajirin dan Kaum Anshar saja, tatapi juga membicarakan tentang hubungan umat Islam dengan umat lain, termasuk Yahudi. Piagam Madinah ini menjadi bukti nyata usaha Rasulullah SAW yang telah mempersatukan penduduk berbagai suku, ras dan agama yang tinggal di Madinah saat itu.
Begitulah seharusnya seorang pemimpin. Dia harus bisa berbicara, bersikap dan membuat aturan yang mempersatukan. Bila tidak, maka akan menimbulkan kegaduhan. Janganlah seorang pemimpin justru melontarkan pernyataan yang mengandung unsur provokasi, adu domba dan penuh hasutan yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Sebaliknya, pemimpin pemersatu harus menyampaikan kalimat dan sikap yang membuat sejuk, damai dan tentram. Dengan bahasa sejuk, damai dan penuh dengan narasi persaudaraan, maka seorang pemimpin akan mampu menjadi pemersatu. Wallahu a’lam [mrh]
KOMENTAR