«كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْإِمَامُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى مَالِ زَوْجِهَا، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ»
Setiap kalian pengembala (pemimpin yang merawat) dan dimintai pertanggungan jawaban atas rakyatnya (yang dipimpimpinnya, dirawatnya), imam atas manusia, pemimpin merawat, dan dimintai pertanggungan jawab tentang yang dipimpinnya (dirawatnya), seorang laki laki pemimpin keluarganya dan dimintai pertanggungan jawab dari mereka, wanita perawat harta suaminya, dan budak perawat harta tuannya dan dimintai pertanggungan jawab atasnya, ingatlah setiap kalian pemimpin atau perawat dan bertanggung jawab. (HR. Bukhȃrî).
Pemimpin Islami adalah pemimpin yang peduli terhadap rakyatnya, merasakan apa yang mereka rasakan, menerima mereka apa adanya, tidak menuntut mereka lebih dari kemampuan mereka, memerintahkan mereka kepada kebaikan dengan cara lemah lembut, dan tidak meladeni orang yang berlaku bodoh. (Q.S. Al A’rȃf/7: 199).
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sangat merakyat. Naik kendaraan berboncengan dengan sahabatnya, bahkan dengan yang masih belia remaja, seperti dengan Mu’ȃdz bin Jabal, Ibnu ‘Abbȃs. Beliau makan bersama masyarakat, bahkan makan bersama dengan para budak, duduk di lantai tanpa rasa sungkan. Mendatangi walimah, bercengkerama dengan mereka, tersenyum dengan cerita lucu yang mereka utarakan. Ikut kerja bakti bersama mereka, seperti ketika menggali parit sambil mendendang lagu, “Ya Allah tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, maka sayangilah anshar dan muhajirin. Ya Allah kalaulah bukan karena Engkau, pastilah kita tidak mendapat petunjuk, tidak bersedakah, dan tidak shalat. Maka turunkan sakinah atas kami, dan kalau mereka berlaku lalim atas kami, kami enggan.” (HR. Bukhȃrî).
Rasulullah SAW menyambut undangan semua rakyat, walaupun seorang budak, dan menyambut permintaan orang yang membutuhkan walaupun anak-anak atau wanita. Ketika ada konflik beliau terjun langsung untuk menyelesaikannya, sampai pernah terlambat shalat berjamaah pada rakaat kedua, karena mendamaikan orang yang berkonflik.
Julaibib seorang sahabat Nabi yang miskin, yang tidak punya keluarga, pernah berkata, “Ya Rasulullah adakah orang yang mau menikah denganku, adakah orang yang mau menikahkan putrinya kepadaku?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda “Ada”. Kemudian diceritakan bahwa beliau bersabda kepada seseorang Ansar, “Nikahkanlah aku dengan putrimu”, lelaki Ansari tersebut menjawab baik wahai Rasulullah. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyampaikan pernikahan itu bukan untuk dirinya, namun untuk Julaibib. Lelaki Ansari itu berkata, “kalau begitu saya musyawarahkan dulu dengan ibunya.” Ketika disampaikan kepada ibunya, ibunya berkata, “Tidak untuk Julaibib!”. Dan ketika putrinya mendengar berkata, Terimalah lamaran Rasulullah, saya tidak akan disia-siakan. Maka lelaki Ansari tadi datang kepada Rasulullah. Kemudian dinikahkanlah Julaibib. Tak lama kemudian terjadilah peperangan. Julaibib pamit kepada istrinya untuk berjihad dan tidak sempat bermalam pertama.
Setelah perang selesai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “carilah setiap kalian yang kehilangan saudaranya, adapun aku kehilangan saudaraku Julaibib.” Dan ketika mereka mencarinya, didapatkan Julaibib terbunuh disamping tujuh orang kafir yang terbunuh. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Dia telah berhasil membunuh mereka dan akhirnya dia terbunuh. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang langsung memangku jenazahnya, dan menguburkannya, lalu beliau bersabda, “Julaibib dariku dan dia darinya. Dan para sahabatpun sangat iri dengan Julaibib yang diistimewakan Rasulullah.”
Merakyat ini yang dipraktekan para khulafa’ Rasyidin. Khalifah Umar bin Khattȃb sering sekali terjun ke masyarakat. Suatu hari beliau berjalan ke masyarakat, mendengar tangisan anak-anak, dan ketika ia mendekat melihat seorang Ibu menunggu bejana di atas tungku. Umar bin Khattȃb bertanya ibu memasak apa? Memasak batu, jawab ibu itu. Ada apa batu bisa dimasak? Si Ibu menjawab, Aku tahu kalau batu tidak akan bisa matang, tapi untuk mendiamkan anak-anakku yang menangis terus. Seketika itu Umar pamitan, dan pulang mengambil bahan makanan dan memikulnya sendiri, membawanya ke rumah ibu tadi, kemudian memasaknya dan memberikan makanan dan uang ke keluarga tersebut, dan pamitan tanpa memperkenalkan diri. Ibu tersebut tidak sempat bertanya identitas Umar. Bahkan Ibu tersebut mengatakan kepadanya bahwa dia lebih baik dari khalifah Umar.
Ketika terjadi penaklukan kota Baitul Maqdis, penguasa Baitul Maqdis dari Ahlul Kitab, mau memberikan kunci pintu gerbang kota langsung ke tangan Amirul Mukminin Umar bin Khattȃb.
Umar bin Khattȃb berangkat dari Madinah dengan satu kendaraan dan pengawal. Beliau mengendari unta tersebut bergantian dengan pengawalnya. Ketika Umar naik, pengawalnya berjalan menuntunnya, dan jika Umar turun pengawalnya naik unta tersebut. Dan tiba giliran sampai ke Baitul Maqdis Umar yang dapat giliran berjalan. Para sahabat melihat pakaian Umar yang lusuh, mereka minta izin agar Umar bersedia mengganti bajunya dengan baju baru, tapi Umar menolaknya dan berkata : Kita kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, dan bagaimanapun kita mencari kemuliaan dengan selain Islam, Allah menghinakan kita”
Suatu hari Umar bin Khattȃb melihat orang Yahudi sakit lepra dan minta-minta. Umar bin Khattȃb langsung berkata kepadanya, Pulanglah engkau ke rumahmu. Kami yang akan menanggung seluruh kebutuhanmu. Tidak pantas bagi kami, mengambil upeti pada masa kuatmu dan menelantarkan engkau waktu tuamu.
Ketika terjadi kelaparan Umar bin Khattȃb menahan diri tidak makan. Beliau justru membagi-bagikan makanan kepada rakyat, dan berkata wahai perut, silahkan keroncongan atau tidak keroncongan, dan engkau tidak akan kenyang sehingga rakyat semua kenyang.
Senang Musyawarah
Rasulullah ketika mengajak para sahabat menghadang kafilah Abu Sufyan, dan diikuti 313 orang, tapi Abu Sufyan berhasil menghindar dan minta bantuan orang Quraisy. Rasulullah meminta pendapat kepada para sahabat, dengan mengatakan berikan pendapat kalian wahai kaumku? Dan berkali-kali yang menjawab adalah sahabat muhajirin, dan Rasulullah mengulang terus, kemudian orang Ansar yang menjawab, seakan Engaku ingin kami yang menjawabnya wahai Rasulullah. Rasulullah bersabda, “Ya”, pasti, karena wilayah peperangan ini diluar klausul perjanjian Ansar dalam membela Rasulullah. Akhirnya Ansar menjawab, Wahai Rasulullah kami telah memberikan janji kami, dan kami adalah kaum yang sabar dalam peperangan. Wahai Rasulullah kalau engkau ajak kami masuk laut, niscaya kami masuk laut. Wahai Rasulullah kami tidak mengatakan yang dikatakan bani Israil kepada Mûsȃ,
“Pergilah Engkau dengan tuhanmu dan kami duduk disini. Tapi kami akan mengatakan, Pergilah Engkau wahai Rasulullah dengan Rabbmu dan pasti kami akan berperang bersama baginda.”
Dalam perang uhud, Rasulullah sebelum keluar perang bermusyawarah. dengan para sahabat. Para sahabat muda (junior) meminta beliau menghadapi musuh di Uhud, di luar Madinah. Waktu itu, itu suara terbanyak, sedang yang tua (senor), meminta Rasulullah menghadapi musuk di dalam kota, dan Rasulullah mengikuti suara terbanyak.
Ketika mengambil posisi di badar, seorang sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, apakah posisi atau tempat ini Engkau ambil karena wahyu atau tidak? Karena perang itu strategi. Rasullah bersabda, Itu bukan wahyu, dan perang itu strategi. Sahabat berkata, Kalau begitu bukan di sini posisi strastegis ya Rasulullah, di sana dekat mata air. dan Rasulullah menuruti saran sahabat tersebut.
Dalam perang Khandaq atau ahzab, Rasulullah menggali parit karena hasil syura memutuskan agar dibikin parit, sepanjang lima kilo dengan kedalaman lima meter dan lebar empat meter, Rasulullah ikut menggalinya dalam kondisi lapar dan dingin.
Di tengah tengah peperangan di mana musuh terdiri dari koalisi kabilah-kabilah arab yang banyak, Rasulullah berfikir untuk memecah kekuatan musuh, dengan menawarkan sepertiga penghasilan korma Madinah kepada sebagian musuh dengan imbalan mereka pulang dan keluar dari koalisi. Tapi Rasulullah tidak mau memutuskan sendiri, maka beliau memanggil pembesar Ansar, dan mengutarakan kasih sayang Rasul kepada Ansar dan ingin mengurangi kekuatan musuh dengan memberi upeti kepada sebagian mereka. Ternyata para pembesar Ansar tidak setuju dan Rasulullah menerima pendapat mereka dengan senang.
Sangat menarik ketika terjadi perjanjian Hudaibiyah. Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk tahallul dari manasik umrah karena klausul perjanjian memutuskan, umrah mereka ditunda ke tahun depan. Ketika Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk tahallul, mereka diam seribu bahasa, karena kaget dan sedih atas keputusan perjanjian. Rasulullah masuk kemah dalam kesedihan dan tampak pada raut muka beliau. Ummu Salamah, isteri beliau bertanya tentang kesedihannya. Rasulullah menjawab, Sahabatku tidak mengindahkan perintahku. Ummu Salamah berkata, “Maklumilah wahai Rasulullah kondisi mereka, keluarlah dan jangan bicara, melainkan panggilah tukang cukurmu, dan bercukurlah.” Rasulullah menerima nasehat dan masukan Ummu Salamah dan memanggil tukang cukur untuk mencukur rambut beliau, dan ketika para sahabat melihat Rasulullah bercukur, segeralah mereka bertahallul.
Pemimpin yang demokratis mencintai syuro, menghormati rakyatNya pandai menggali pikiran cemerlang yang dimiliki rakyatNya, sehingga pemimpin yang bermusyawarah akan mendapatkan ide yang selalu baru dan cemerlang. Umar bin Khattȃb telah mengusulkan usalan yang cemerlang dan diakomodir oleh Abu Bakar seperti kodifikasi Al Qur’an.
Musyawarah atau Syuro diambil dari kata Syara Al ‘Asala, artinya memanen madu. Artinya menggali kebaikan. Maka hal yang jelas seperti tauhid, rukun Islam, rukun Iman tidak perlu disyurakan melainkan diperbincangkan bagaimana menjalankannya. Dan hal-hal yang jelas buruk haram seperti dosa-dosa besar, tidak perlu dimusyawarahkan, kecuali dalam hal teknis. [ ]
Penulis: Dr. Mu’indinillah
KOMENTAR