“Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah kehancurannya.” Sahabat bertanya, “bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi menjawab, “Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.”
(HR. Al Bukhari)
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga: (1) apabila ia berucap berdusta; (2) jika membuat janji mengingkari; dan (3) jika dipercayai berkhianat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Karena dibutakan oleh kemilau kekuasaan, maka rakyat yang awalnya dipuja-puja bak raja dan disuguhi janji-janji manis saat kampanye pun tak lagi terlihat oleh mata para penggila kekuasaan tersebut. Oleh orang-orang yang mengaku akan bersedia menjadi pelayan rakyat saat kampanye tersebut, amanah yang diberikan oleh rakyat pun pada akhirnya harus dikhianati setelah menjabat. Mereka tidak sadar bahwa kepemimpinan yang diraihnya tersebut adalah amanah, dari rakyat, juga dari Allah SWT. Di dunia, rakyat akan meminta pertanggungjawaban mereka. Begitu pula di akhirat, Allah SWT juga akan menagih janji kampanye yang pernah diucapkan kepada rakyatnya. Rasulullah SAW bersabda,
أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ
“Tunaikanlah amanat kepada orang yang menitipkan amanat padamu.” (HR. Abu Dawud dan At Tirmidzi)
Kata amanah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sesuatu yang dipercayakan (dititipkan) kepada orang lain. Amanah berasal dari kata bahasa Arab (amina-ya’manu-amnan) yang berarti aman/tidak takut. Aman adalah lawan dari kata takut. Disebut aman karena orang akan merasa aman menitipkan sesuatu kepada orang yang amanah. Amanah adalah lawan kata dari khianat. Amanah merupakan salah satu dari empat sifat utama yang dikaruniakan Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad SAW yang juga wajib dimiliki oleh seorang pemimpin. Selain amanah, seorang pemimpin berjiwa Nabawi juga harus memiliki tiga sifat Rasulullah SAW lainnya, yaitu: Shidiq berarti jujur, Tabligh berarti menyampaikan dan Fathanah berarti cerdas.
Pemimpin Amanah Tidak Ambisius
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّى أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّى أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِى لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ
“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya aku melihatmu adalah orang yang lemah dan aku sangat senang memberikanmu apa yang aku senangi untuk diriku sendiri. Janganlah engkau menjadi pemimpin atas dua orang dan janganlah pula engkau mengurusi harta anak yatim.” (HR. Muslim)
Dalam hadits lain dikisahkan oleh Abu Musa RA, “Suatu ketika aku menghadap Nabi SAW bersama dua orang dari kaumku. Salah satu dari mereka berkata, “Wahai Rasul, angkatlah aku jadi pemimpin.” Dan seorang lagi juga mengatakan hal yang sama. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh kami tidak akan menyerahkan kepemimpinan ini kepada orang yang memintanya, dan tidak pula kepada yang berambisi untuk meraihnya. (HR. Al Bukhari)
Dalam konteks kekinian, seorang pemimpin amanah tidak akan berlebihan saat berkampanye. Dia tidak akan dengan mudah mengumbar janji tanpa mengukur kemampuan yang dia miliki. Pemimpin amanah tidak akan dengan mudah mengatakan, “dananya ada, sumber dayanya ada, tinggal kita mau kerja apa tidak. Intinya kerja, kerja dan kerja”. Seorang yang amanah biasanya tidak berambisi menduduki jabatan itu, apalagi sampai menghalalkan segala cara demi mendapatkan kekuasaan atau jabatan. Karena dia tahu persis konsekuensi dari apa yang dia katakan dan dia lakukan.
Seseorang yang menggunakan segala cara untuk memperoleh sebuah jabatan, seperti misalnya dengan suap jelas bukan pemimpin yang amanah. Jika karena ambisinya itu dia sampai berbuat curang dengan menggelembungkan suara misalnya, maka sulit untuk diharapkan akan amanah saat telah menjabat nanti. Jangankan untuk berkorban demi kesejahteraan rakyat, ia justru akan sibuk memperkaya diri dan kelompoknya, mengembalikan ‘modal’ dari jabatan yang diembannya. Rasulullah SAW bersabda,
مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً, يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ, وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ, إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ
“Tidaklah seorang hamba pun yang diberi amanah oleh Allah untuk memimpin bawahannya yang pada hari kematiannya ia masih berbuat curang atau menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Pemimpin amanah, jika pun dia terlihat seolah berambisi menginginkan sebuah jabatan tertentu, pada hakikatnya dia hanya bertujuan untuk kepentingan rakyat saja, tidak untuk dirinya sendiri. Seperti pernah diceritakan dalam kisah Nabi Yusuf AS. Allah SWT berfirman,
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Berkata Yusuf: “Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (QS. Yusuf [12]: 55)
Ayat tersebut menunjukkan bahwa tidak layak meminta amanah atau memberikan amanah kepemimpinan pada orang yang tidak punya kapabilitas dan bukan ahli di dalamnya. Namun seperti halnya Nabi Yusuf AS, boleh meminta amanah jika memang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Pemimpin Amanah Berlaku Adil
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.” (QS. An-Nisa’ [4]: 58)
Ayat tersebut menunjukkan kepada kita di antaranya tentang pentingnya memilih pemimpin yang amanah. Bahwa saat seorang diberi amanah sebagai seorang pemimpin ia harus berlaku amanah pula. Salah satu bentuk amanah yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah agar dia berbuat adil. Pemimpin amanah akan adil kepada dirinya sendiri. Ia tidak akan bermewah-mewahan dalam kesehariannya, sebaliknya ia akan hidup sederhana sesuai kebutuhannya. Maka pemimpin akan menyesal jika diawali dari ambisi, karena pasti dia tidak akan adil kepada dirinya sendiri, yaitu dengan memperkaya diri dan bermewah-mewahan. Ujungnya dia akan menyesal di akhirat nanti karena tidak bisa berlaku adil dalam kepemimpinannya.
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الإِمَارَةِ ، وَسَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَنِعْمَ الْمُرْضِعَةُ وَبِئْسَتِ الْفَاطِمَةُ
“Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, ujungnya hanya penyesalan pada hari kiamat. Di dunia ia mendapatkan kesenangan, namun setelah kematian sungguh penuh derita” (HR. Bukhari)
Pemimpin Amanah Bertanggung Jawab
Seorang pemimpin amanah akan bertanggung jawab semaksimal mungkin menjalankan kepemimpinannya. Ia akan melaksanakan tugas dengan baik, sehingga ia dapat dipercaya saat menjalankan kepemimpinannya itu. Rakyat pun akan mengenalnya sebagai seorang yang jujur, selaras antara kata yang diucapkan dengan tindakan yang dilakukan.
Pemimpin amanah juga akan selalu mengutamakan kepentingan rakyat banyak dibanding dengan kepentingkan dirinya sendiri dan kelompoknya. Dia tidak akan mengorbankan rakyat dan menipu mereka demi mengekalkan kekuasaannya. Apa yang dilakukannya semata demi kemaslahatan rakyat semata. Karena ia sadar, apa yang diembannya sekarang akan dimintai pertanggungjawaban kelak. Rasulullah SAW bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang ia pimpin.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Selain wajibnya memiliki sifat shidiq (jujur) sebagai pondasi, sifat amanah juga menjadi pondasi penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena salah satu indikator pemimpin Nabawi adalah senantiasa menjaga dan tidak mengkhianati amanah yang telah diberikan rakyat di pundaknya. Maka teramat rugi dan akan menyesal jika menjadi pemimpin yang munafik, antara perkataan dan perbuatannya tidak ada keselarasan. Wallahul Musta’an [mrh]
KOMENTAR