Menurut laporan Arab Barometer (2017), sebagian besar wilayah Arab semakin sekuler. Berdasarkan tersebut, mereka yang mendukung kelompok Islam setelah pergolakan musim semi Arab pada 2011 semakin kecewa dengan penampilan kelompok Islam dan berubah pikiran. Lembaga yang didirikan pada tahun 2005 oleh para ilmuwan di dunia Arab dan Amerika Serikat ini melakukan survei sosial multi-negara yang dirancang untuk menilai sikap warga tentang urusan publik, pemerintahan, dan kebijakan sosial di Dunia Arab.
Dari hasil survei terbaru lembaga tersebut disimpulkan bahwa di Mesir dukungan penerapan syariah Islam menjadi 34 persen pada 2016 dari 84 persen di 2011. Orang-orang Mesir juga tidak lagi banyak sembahyang. Di tempat-tempat seperti Libanon dan Maroko hanya separuh dari jumlah umat Islam yang mendengarkan bacaan Quran hari ini dibandingkan 2011.
Arus sekularisme juga sampai di Arab Saudi yang selama ini disebut kerajaan Islam paling konservatif. Berbagai media memberitakan bahwa putera mahkota, Muhammad bin Salman, telah menahan polisi religius, memecat ribuan imam, dan menyensor teks-teks ekstremis. Perempuan segera diizinkan mengendarai mobil dan memasuki stadion olahraga. Mereka didorong untuk bekerja. Kini Pangeran Muhammad ingin menciptakan kota baru, Neom, meniru Dubai. Video promosinya menunjukkan wanita tidak berjilbab berpesta dengan laki-laki.
Turki yang sering dianggap sebagai negara muslim berkembang dan mengharumkan nama Islam karena pernyataan dan sikap pemerintahnya akhir-akhir ini, ternyata masih mengukuhkan dirinya sebagai negara sekuler. Recep Tayyip ErdoÄŸan dalam beberapa kesempatan dihadapan awak media, mengukuhkan bahwa Turki adalah negara sekuler. “Pandangan saya sudah diketahui soal ini... Realitasnya ialah bahwa negara seharusnya punya jarak yang sama dari semua keyakinan agama.” tutur ErdoÄŸan (4/2016).
Proses Islamisasi di negara Turki sepertinya memang harus mengambil jalan underground dan dengan proses yang lambat. Pandangan anti formalisasi agama mendominasi opini publik. Sebelum Erdogan ada Adnan Menderes (1950), dan Necmettin Erbakan (1996) tercatat sebagai pemimpin Turki kandas mengislamkan kembali Turki pasca sekularisasi yang dibawa oleh Mustafa Kemal.
Pemerintahan Sekuler
Mengapa masyarakat bisa sangat dipengaruhi oleh pemerintah? Karena ucapan dan tindakan resmi para pejabat, serta opini media yang diizinkan atau boleh beredar secara legal; semuanya ditentukan oleh pemerintah. Pemerintah yang abai, membelakangi atau bahkan cenderung anti dengan hukum agama, akan membentuk pemikiran dan perasaan umum.
Negara Mesir dan Turki adalah contoh negara sekular yang pemerintah dan masyarakatnya banyak terjangkit Islamophobia. Sementara itu, Arab Saudi mulai terseret arus sekularisme. Bagaimana dengan Indonesia? Seperti apakah gejala Islamophobia itu?
Sekularisme dan Islamophobia
Kebencian Brenton terhadap umat Islam rupanya telah mendarah daging. Motif penembakan Brenton adalah kebencian terhadap imigran Muslim yang dianggapnya sebagai penjajah asing dan genosida penduduk kulit putih. Gejala alergi terhadap Islam faktanya tidak hanya dialami Brenton. Sebut saja Joaram Van Klaveren dan Geert Wilders, politikus anti-Islam di Belanda yang konon pada akhirnya masuk Islam.
Islamophobia dikampanyekan oleh politisi-politisi sekuler dengan pernyataan mereka yang kontroversial. Di Australia, senator Frasser Anning menyalahkan banyaknya imigran Muslim sebagai faktor pendorong aksi terror di New Zealand. Presiden Amerika, Donald Trump melabeli jamaah masjid adalah kumpulan para pembunuh yang “keluar masjid dengan kebencian dan kematian di mata dan pikiran mereka.” Senator Amerika Serikat bernama Lindsey Graham berkoar “jika saya harus mengawasi, maka saya akan mengawasi masjid.”
Virus Islamophobia ini, mencermati rentetan kejadian yang menimpa umat Islam, layak dipastikan telah difabrikasi masif oleh sebuah kekuatan politik anti-Islam.
Tidak hanya di Australia, Eropa dan Amerika, ternyata Islamophobia juga melanda Indonesia. Sejumlah tindakan dan wacana anti simbol dan syiar Islam semakin marak bermunculan. Mulai dari pembakaran bendera tauhid, hingga demonisasi istilah khilafah dan kritik brutal yang ditujukan terhadap aktivitas dakwah amar makruf nahi munkar.
Runny Trust dalam laporannya 'A Challenge For Us All' menulis islamophobia adalah sebuah permusuhan yang tidak berdasar terhadap islam, sehingga akhirnya konsekuensi praktis dari ketakutan itu adalah diskriminasi terhadap Islam baik individu maupun komunitas.
Propaganda Islamophobia bukanlah perkara baru. Bila kita menilik sejarah, sebenarnya propaganda Islamophobia sudah ada sejak zaman dahulu kala. Sejarah mencatat propaganda Islamophobia sudah muncul di era Rasulullah SAW di masa silam. Berbagai bentuk hinaan, ancaman, dan kekerasan menghantam perjalanan dakwah Rasulullah. Kita akan teringat ketika orang orang kafir Quraisy menghina Rasulullah sebagai orang gila dan tukang sihir.
Anti Khilafah dan Syariat
“Kubu bapak [Jokowi] yang melontarkan seolah-olah saya mendukung khilafah dan melarang tahlilan. Kenapa saya dituduh ingin mengubah Pancasila? Sungguh kejam itu,” ucap Prabowo Subianto pada debat Pilpres 2019 putaran keempat (Minggu, 30/3/2019). Prabowo mengeluh soal serangan para pendukung Jokowi yang menuding dirinya mendukung khilafah.
Dari pernyataan Prabowo tersirat bahwa seolah publik memang mempermasalahkan istilah khilafah dan menganggap dukungan terhadapnya adalah tindakan yang tidak populis.
Demikian juga dengan istilah NKRI Bersyariah yang sempat menjadi perbincangan publik. Banyak pihak yang kelihatan nampak alergi dengan istilah Syariah, sehingga menyudutkan wacara tersebut dan melabelinya dengan Arabisasi.
Di negeri ini, Islamophobia sebetulnya sudah muncul sejak peristiwa bom Bali pada tahun 2002 silam. Sejak saat itu rentetan penangkapan tersangka yang semuanya berpenampilan muslim membuat masyarakat indonesia was was dengan pria berjenggot lebat dan bergamis panjang, juga dengan wanita bercadar dan berjubah hitam.
Saat ini ketakutan masyarakat akan Islam kembali mencuat. Hal ini sangat terasa saat ada muslim yang membela agamanya di anggap fundamentalis, begitupun ormas Islam yang menyuarakan dakwah di anggap radikal dan tidak sedikit pula sebutan anti NKRI di sematkan kepada beberapa tokoh Islam.
Segala prasangka tersebut membuat Islamophobia merasuki masyarakat di negeri ini. Hal ini sungguh ironi mengingat indonesia adalah negeri dengan jumlah muslim terbesar di dunia, tentu hal yang ganjil ketika di dalam komunitas Islam justru terjadi ketakutan akan islam itu sendiri.
Masyarakat kita pada akhirnya mulai terseret arus sekularisasi dan semakin menerima Islamophobia.
NKRI dan Pancasila Sekuler?
Oleh karena itu, gerakan sekularisasi Pancasila sudah tidak relevan lagi untuk diangkat. Opini serta tindakan Islamophobia sudah seharusnya diakhiri; agar kita bisa kembali kepada jati diri bangsa Indonesia yang berketuhanan dan selalu mengharapkan berkat dan rahmat Tuhan.
Mulai saat ini, kita harus mulai mengisi Pancasila dengan menghidupkan nilai-nilai agama, dan mengukuhkan NKRI yang bersyariat Islam. Sehingga jika muncul pertanyaan, apakah kita masih sekuler? Jawabannya adalah TIDAK! Nashrun minallah wa fathun qarib![]
KOMENTAR