"Itu bolong, sampai belakang. Tembus, di sekitar tenggorokan tembus ke punggung belakang," ujar Syafri kepada BBC News Indonesia, Jumat (24/05).
Lantaran tidak diotopsi, jenasah Farhan hanya diberi keterangan meninggal secara tidak wajar oleh pihak rumah sakit. Dia menuturkan alasan jenasah putranya tidak diotopsi.
"Karena kemarin itu saya ngeliat anak saya ditelantarkan gitu aja di ruang jenasah, akhirnya kita bawa pulang langsung karena kasihan kan sudah dari jam 02:00 pagi sampai saya datang jam 07:00," kata dia.
Pria berusia 58 tahun ini mendesak kepolisian mengungkap penyebab kematian putranya yang dia duga karena peluru tajam. Sebelum meninggal, Farhan sempat dibawa ke RS Budi Kemuliaan.
Selain Farhan, Widianto Rizky Ramadan (17 tahun) juga meninggal dalam kerusuhan 22 Mei silam. Liani, bibi pelajar sekolah menengah atas yang tinggal di Slipi, Jakarta Barat itu mengatakan pada saat kericuhan meletus, Rizky justru pergi ke lokasi kejadian untuk membantu korban terluka.
"Dia kembali lagi untuk nolongin orang yang terluka, kaya sebelumnya kan ada korban tertembak, jadi dia nolongin," ujar Liani kepada BBC News Indonesia, Jumat (24/05).
Namun, Rizky justru menjadi korban. Dari lokasi kericuhan di Petamburan, dia langsung dibawa ke RSUD Tarakan di Jakarta Pusat.
Tragedi berdarah 21-22 Mei 2019 tersebut bermula dari demonstrasi di depan Gedung KPU terkait sengketa Pemilihan Presiden dan dugaan kecurangan yang dilakukan oleh berbagai pihak.
Pasca kejadian, Komnas HAM mengunjungi beberapa rumah sakit yang menjadi rujukan korban kerusuhan, termasuk tempat dilakukannya otopsi di RS Polri Kramat Jati. Menurut, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, ada empat korban meninggal yang diotopsi di rumah sakit. Berdasar temuan di lapangan, Damanik mengungkapkan beberapa orang diduga menjadi korban peluru tajam, merujuk pada luka mereka yang parah.
"Karena kami menemui korban-korban yang lain, bahkan yang ditembak dekat saja, peluru karet hanya [membuat] luka. Ada korban ditembak dalam jarak dua meter, dia hanya luka di dada," ujar Damanik.
Damanik menegaskan kepolisian harus mengungkap penyebab kematian dan jenis peluru yang bersarang di tubuh para korban.
"Itu jenis peluru apa, dari mana, tentu harus ada penyidikan lebih lanjut. Kita berharap tim yang dibentuk oleh Kapolri yang harus melakukan penyidikan, senjata apa yang digunakan dan siapa yang melakukan" kata dia.
Seperti diberitakan, untuk mengetahui asal-usul peluru tajam yang menewaskan para korban, Polri membentuk tim investigasi khusus. Tim investigasi ini juga dibentuk untuk menyelidiki penyebab kematian sejumlah peserta demonstrasi.
Pemantauan yang dilakukan KontraS pada 20 – 21 Mei 2019 dari sejumlah rumah sakit dan lapangan, kami mencatat setidaknya 300 orang mengalami luka-luka, 10 orang luka berat, dan 5 orang meninggal dunia yang telah terverifikasi (sementara dari pihak Pemprov DKI terdapat 6 orang tewas). Beberapa korban yang meninggal dunia diidentifikasi mengalami luka tembak dibagian dada dan leher.
Korban Reformasi Demokrasi
Hari itu, demonstrasi menolak sejumlah rancangan undang-undang kontroversial kembali berlangsung. Aksi ini merupakan lanjutan dari unjuk rasa di hari sebelumnya, Selasa (24/9). Suasana titik utama demonstrasi di depan Gedung MPR/DPR di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat, sudah kacau sejak sore. Polisi memukul mundur massa yang merupakan campuran pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum ke arah Stasiun Palmerah.
Tembakan gas air mata membuat jalanan penuh dengan asap putih. Sementara kendaraan taktis barracuda terus merangsek dari arah Jalan Gatot Subroto ke Jalan Pemuda untuk mendorong massa.
Kumparan.com melaporkan berdasarkan data Tim Advokasi Aliansi Masyarakat Untuk Keadilan dan Demokrasi total 1.365 orang demonstran ditangkap pada unjuk rasa 30 September 2019 itu. Banyak orang diangkut tanpa pemeriksaan.
Sampai 3 Oktober 2019, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menerima 390 aduan, mulai soal penganiayaan, pengeroyokan, hingga penangkapan yang berasal dari berbagai elemen masyarakat.
Darah Tumpah Kembali
Di Sulawesi Tenggara, demonstrasi mahasiswa untuk terkait Gerakan #ReformasiDikorupsi dan penolakan beberapa undang-undang menimbulkan korban jiwa. Dua korban meninggal dunia terkonfirmasi merupakan mahasiswa dari Universitas Haluoleo Kendari, Randy (21) dan Muh Yusuf Kardawi (19).
Berdasarkan keterangan saksi mata kepada CNNIndonesia.com, Randy yang menjadi mahasiswa Fakultas Perikanan semester 7 itu meninggal dunia usai terlibat bentrok antara mahasiswa dengan polisi di gedung DPRD Sultra. Terdapat luka di dada korban, namun belum dapat dipastikan mengenai penyebab luka.
Di sisi lain La Ode Yusuf Kardawi mengalami kritis setelah kepalanya dihantam oleh aparat. Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sulawesi Tenggara, Marsono membenarkan kabar meninggalnya Yusuf pikul 04:05 WITA.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan belasungkawa atas korban meninggal pada aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia yang berlangsung dipenghujung bulan September 2019. Jokowi mengaku tidak akan tinggal diam dan telah menginstruksikan kepada Kapolri Tito Karnavian untuk melakukan investigasi siapa dalang yang menjadi penyebab kematian dua orang mahasiswa tersebut.
Saat ini, Jokowi sudah dilantik kembali menjadi presiden untuk kedua kalinya. Sementara itu, Tito Karnavian diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri. Semoga tidak ada lagi darah anak bangsa yang tumpah lagi. Aamiin! [red]
KOMENTAR