$type=ticker$cols=4$label=hide$show=post

[Edisi Terbaru]_$type=three$m=0$rm=0$h=420$c=3$snippet=hide$label=hide$show=home

K.H.A. Badawi dan Awan Mendung Muktamar ke-36

“...disementara Daerah, Tjabang2 Muhammadijah dan sementara orang2 Muhammadijah masih sadja selalu disingkir2kan, disudut2kan dari kegiatan nasional.” 

– K.H. Ahmad Badawi

Muktamar Muhammadiyah yang sudah berpuluh kali dilakukan adalah bukti eksistensi organisasi ini hidup mengiringi Indonesia. Sejak belum merdeka hingga masanya saat ini menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-48 di kota solo.

Nyata bahwa perjalanan Muhammadiyah juga tak selalu dilalui dengan mudah. Sebagai organisasi yang mengusung gerakan pemurnian Islam, Muhammadiyah kerap bersentuhan dengan realitas sosial dan politik. Salah satunya tentu saja, masa-masa muram orde lama yang mengusung panji Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) era Sukarno, terutama sejak tahun 1962 – 1965.

Masa tersebut adalah masa-masa kepemimpinan K.H. Abdullah Badawi. Beban berat yang dipikul ulama kelahiran 5 Februari 1902 ini begitu berat sebab Muhammadiyah berhadap-hadapan langsung dengan pemerintahan yang terang menyokong eksistensi komunisme di Indonesia.

Bukan hanya itu, wadah resmi politik Muhammadiyah, partai Masyumi akhirnya membubarkan diri karena tekanan Presiden Sukarno. Banyak dari tokoh Muhammadiyah yang terlibat politik akhirnya menemui jalan suram. Bahkan diantaranya, Buya Hamka, tokoh yang sebenarnya cukup menjaga jarak dari politik praktis ini tak luput dari ganasnya rezim otoritarian kala itu. Buya Hamka mendekam di penjara tanpa pernah mengalami proses peradilan dan baru dibebaskan ketika rezim Orde Lama runtuh.

Di masa-masa berat ini Muhammadiyah bersiasat menjalani kehidupan sebagai organisasi Agama dan menghirup udara yang sama dengan kelompok lain termasuk kelompok komunis. Kedekatan erat Sukarno dengan tokoh-tokoh partai komunis Indonesia membuatnya semakin condong ke kiri.

Kedekatan ini tentu saja semakin mengancam eksistensi umat Islam di Iindonesia. Tokoh-tokoh komunis bukan sekali dua kali mengancam secara langsung untuk membungkam gerakan-gerakan Islam. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satunya. Aidit yang berkali-kali meminta Sukarno membubarkan HMI hanya mampu dibendung oleh lobi-lobi tokoh Islam pada Sukarno.
Dalam alam seperti ini Muhammadiyah berusaha untuk bertahan dan melanjutkan roda-roda organisasinya. Menjadi wadah perjuangan umat. Oleh sebab itu, di bawah situasi menekan semacam ini Muhammadiyah mencoba untuk beradaptasi dan dibawah kepemimpinan K.H. Ahmad Badawi, ikhtiar untuk itu coba dijalankan.

Maka tak sepatutnya kita heran jika mendengar tokoh-tokoh pengurus Muhammadiyah kala itu turut bersuara dengan jargon-jargon Sukarno pada masa itu. “Masyarakat sosialis,”” Manifesto Politik,” “revolusioner,” “ganyang Malaysia” adalah kata-kata yang lazim terdengar dari lisan para tokoh Muhammadiyah, bahkan menjadi haluan Muhammadiyah itu sendiri.
Hal ini misalnya dapat kita simak dari Pidato Iftitah K.H. Ahmad Badawi, Ketua Umum Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-36, 19-25 Juli 1965 di Bandung. Putra dari K.H. Muhammad Faqih itu menyatakan bahwa,
“Alhamdulillah, kini Negara kita telah duapuluh tahun merdeka. Dan dengan berkat serta rahmat Allah Jang Maha Esa dan dengan dengan didorong oleh keinginan kita jang luhur, kita berdjalan terus, madju terus dan masih berdjuang terus menudju terwujudnja tjita-tjita dan tudjuan revolusi, terwudjudnja Masjarakat Sosialis Indonesia jang diredhai Allah.” [Suara Muhammadiyah, Agustus 1965]
Atau dalam kesempatan yang sama, K.H. Ahmad Badawi dalam Muktamar di Bandung tersebut juga menyebutkan, “Revolusi memerlukan manusia jang Pantja Silais murni, Usdekis sedjati jang ichlas berdjoang dan tidak separo2.”

“Masjarakat Sosialis Indonesia” tentu bukan istilah yang lazim digunakan sepanjang sejarah Muhammadiyah sebelum masa 1960-an. “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” adalah imaji tentang masyarakat ideal yang lebih lazim dalam wacana Ke-Muhammadiyah-an. Begitu pula dengan jargon asing lain seperti “Revolusi, “Usdekis”,” dan lainnja.

Pernyataan-pernyataan ini hanya dapat dipahami dengan mengaitkan pernyataan tadi pada konteks ketika pernyataan itu dibuat. Sebagai suatu siasat Muhammadiyah menghadapi situasi politik yang amat menekan.

Dekatnya wacana Muhammadiyah pada Sukarno juga harus dibaca sebagai pintu siasat Muhammadiyah menghadapi gelombang zaman tersebut. Dan siasat tersebut salah satunya justru datang dari K.H. Faqih Usman, salah seorang tokoh Muhammadiyah sekaligus Partai Masyumi. Menurutnya H.M. Junus Anis, K.H. Faqih Usman meminta:

“Supaya Muhammadiyah mencari lampu hijau mendekati Bung Karno, Presiden R.I sewaktu masih jaya-jayanya dan pemegang penuh kekuasaan negara.” Hal ini ditempuh agar Muhammadiyah jangan dibubarkan atau membubarkan diri seperti Masyumi, GPII, PSI dan lainnya. [H.M. Junus Anis: 2012]

Di sinilah beban berat dipikul K.H. Ahmad Badawi. Ia dihadapkan pada situasi yang sulit terkait politik. Di satu sisi, ia diharapkan membawa Muhammadiyah mendekati Sukarno dengan jargon-jargon sosialisnya. Di lain sisi, ia juga tak hendak membawa Muhammadiyah menjadi organisasi penjilat kekuasaan.

Djarnawi Hadikusuma, seorang tokoh Muhammadiyah, mengisahkan betapa K.H. A. Badawi berulangkali menasehati Soekarno.
“Maka dalam mendjalankan tugas meng-aproach kepada Presiden Sukarno pada waktu itu , ternjata K.H.A. Badawi sangat success dengan tjara jang chas, jaitu tidak mendjilat dan tidak mendjadi anteknja Bung Karno, tetapi dengan djalan kerap kali bersilaturahmi, memberi nasehat dan menegor kesalahannja Bung Karno jang perlu ditegor dengan gaja dan nada sebagai seorang kiai kepada seorang Islam biasa.” [H.M. Junus Anis: 1971]
Dalam posisi sulit seperti ini pun, K.H. Abdullah Badawi masih menerima tekanan yang berat terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah kala itu meski berhasil mendekati Sukarno namun tetap menerima fitnah dan tudingan. Muhammadiyah kerap dikaitkan dengan masa lalunya sebagai pendukung Partai Masyumi dan dikaburkan perannya dalam sejarah.

Hal ini yang dicurahkan kisahnya oleh K.H. Ahmad Badawi dalam Pidato Iftitahnya pada Muktamar ke-36 di Bandung. Ia mengisahkan bagaimana orang berupaya mengaburkan peran Muhammadiyah hanya karena pernah menjadi pendukung Partai Masyumi.
“Kalau orang tidak hendak sengadja melupakan usaha-usaha Muhammadijah dalam ikut serta membina djiwa kemerdekaan Nasional jang telah 50 th ini, tentulah mereka tahu bahwa Muhammadijah sedjak tahun 1912 berdiri, sedang Masjumi barulah mulai tahun 1945 didirikan.” [Suara Muhammadijah, September 1965]
Beragam upaya Muhammadiyah merangkul Presiden Sukarno dilakukan. Tidak hanya itu, Muhammadiyah lewat Universitas Muhammdiyah Djakarta bahkan menganugerahkan Doctor Honoris Causa dalam Filsafat Ilmu Tauhid kepada Presiden Sukarno pada 3 Agustus 1965. [Suara Muhammadiyah, Agustus 1965]

Tetap saja, tekanan demi tekanan menghampiri Muhammadiyah terutama dicabang-cabang Muhammadiyah di daerah. Hal ini yang diungkapkan K.H. Ahmad Badawi pada Muktamar di Bandung tersebut.
“...disementara Daerah, Tjabang2 Muhammadijah dan sementara orang2 Muhammadijah masih sadja selalu disingkir2kan, disudut2kan dari kegiatan Nasional. kadang2 terdapat dipelosok2, dalam kedudukannja sebagai pemilih, anggota Muhammadijah di-dorong2 harus turut, tetapi dalam haknja sebagai orang jang dipilih, anggota2 Muhammadijah selalu disingkir2kan dan ditjar-tjari alasan penjingkirannja,” jelas K.H. Ahmad Badawi. [Suara Muhammadijah, September 1965]
Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, para warga Muhammadiyah yang menjadi Aparatur Sipil negara, dibayang- bayangi ketakutan akan disingkirkan dari pekerjaannya. Menurut K.H. Ahmad Badawi,
 “Pegawai2 negeri dari orang2 Muhammadijah seolah-olah sudah tidak punja lagi ketenangan dan ketentraman, karena selalu dibajangi dengan pergeseran dan perlakuan2 jang menjimpang dari norma2 kepegawaian.” [Suara Muhammadijah, September 1965]
Segala tantangan ini dipikul oleh K.H. Ahmad Badawi dalam menerjang alam Nasakom kala itu. Muhammadiyah meski memiliki kedekatan dengan Sukarno sebagai warga Muhammadiyah, juga tak pelak merasa khawatir akan langkah-langkah lebih jauh dari jargon nasakom.
“Muhammadijah merindukan timbulnja, tumbuhnja, dan berkembangnja djiwa persatuan dengan segala keichlasan bukan sadja dengan sesama kaum Muslimin, tetapi dengan seluruh bangsa, dengan tanpa memaksa-maksakan faham ideologi dan agama.” [Suara Muhammadijah, September 1965]
Meniti jalan di atas rezim yang mengakomodir komunisme sekaligus otoriter membuat Muhammadiyah perlu berhati-hati dalam melangkah. Terlebih sebagian anggota Muhammadiyah ditahan oleh pemerintah secara sewenang-wenang tanpa proses peradilan, termasuk tokoh penting Muhammadiyah seperi Buya Hamka. Tidak bersikap frontal terhadap kriminalisasi tersebut, namun tidak pula meninggalkan anggotanya. Di Muktamar ini pula, akhirnya menelurkan satu keputusan, yaitu memutuskan agar:
“Anggota Muhammadijah jang karena sesuatu hal ditahan oleh alat negara supaja segera diadakan penjelesaian menurut Hukum.” [Suara Muhammadijah, Agustus 1965]
Sejarah kemudian bergulir. Sesuai ketetapan Allah kekuasaan silih berganti. Rezim Orde Lama tumbang perlahan. Sekitar satu tahun setelah Muktamar tersebut, Buya Hamka telah menghirup udara kebebasan. Di depan para pengurus Muhammadiyah di Yogyakarta, pada 28 Oktober 1965, Buya Hamka bercerita mengenai pemenjaraan terhadap dirinya. Dan ia mengakui bagaimana kepedulian K.H. Ahmad Badawi terhadap dirinya yang meringkuk dalam tahanan:
“Dan ketika itu, P P Muhammadijah, terutama KHA Badawi mempergiat usahanja untuk membebaskan saja. Betul2 usaha P P Muhammadijah seperti peribahasa: jang hilang ditjari, jg lolos diselam!” [Suara Muhammadijah, no. 23-24, Tahun 46]
Segala halang rintang ujian dan tekanan dihadapi oleh K.H. Ahmad Badawi dalam menahkodai Muhammadiyah melalui tekanan hebat rezim nasakom. Dan Muktamar Muhammadiyah ke-36 di Bandung adalah saksi kesulitan tersebut ketika K.H. Ahmad Badawi mencurahkan kegelisahannya di hadapan muktamirin. Satu muktamar yang mungkin perlu dikenang sebagai masa-masa ketika awan mendung menaungi Muhammadiyah. []

KOMENTAR


Nama

Buya Risman,36,Edisi Terbaru,39,Ekonomi Islam,8,Ghazwul Fikri,6,Infografis,3,Khazanah,8,Kolom,73,Konsultasi,4,Mutiara Takwa,5,Opini,9,Sains,4,Sajian Khusus,17,Sajian Utama,50,
ltr
item
Majalah Tabligh: K.H.A. Badawi dan Awan Mendung Muktamar ke-36
K.H.A. Badawi dan Awan Mendung Muktamar ke-36
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOI5gD_PFgcs4tGilmF3bX5___zdcX-u3SewxqZ7QGo5EAkTGlqzW1HBNIfVrZdNrCovNJ6Jjqynfh1ZrPyGjOX6RifDGx8xcJZxotr6KRs0em2b0pie6MsY80RfELrB6d9StBD7A-lZ4i/s320/K.H.A.+Badawi+dan+Awan+Mendung+Muktamar+ke-36.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiOI5gD_PFgcs4tGilmF3bX5___zdcX-u3SewxqZ7QGo5EAkTGlqzW1HBNIfVrZdNrCovNJ6Jjqynfh1ZrPyGjOX6RifDGx8xcJZxotr6KRs0em2b0pie6MsY80RfELrB6d9StBD7A-lZ4i/s72-c/K.H.A.+Badawi+dan+Awan+Mendung+Muktamar+ke-36.png
Majalah Tabligh
https://www.majalahtabligh.com/2019/12/kha-badawi-dan-awan-mendung-muktamar-ke.html
https://www.majalahtabligh.com/
https://www.majalahtabligh.com/
https://www.majalahtabligh.com/2019/12/kha-badawi-dan-awan-mendung-muktamar-ke.html
true
945971881399728876
UTF-8
Muat semua Tidak ditemukan TAMPILKAN SEMUA Baca lagi Jawab Cancel reply Hapus Oleh Beranda PAGES POSTS Tampilkan semua Rekomendasi untuk Anda UPDATE ARSIP CARI SEMUA POS Not found any post match with your request Kembali Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy