Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Direktur HRS Center
Rekomendasi Badan Anggaran
DPR-RI untuk mencetak uang dengan jumlah fantastis Rp. 600 triliun dalam rangka
menyelamatkan ekonomi dari dampak virus corona patut dipertanyakan. Wacana
cetak uang ternyata dilontarkan terkait dengan defisit APBN yang melebar di
atas 5 persen. Dengan disahkannya Perppu 1/2020 menjadi undang-undang, maka
pemerintah memiliki kewenangan untuk mencetak uang.
Berbagai literatur menjelaskan
kebijakan mencetak uang tanpa ada underlying asset yang jelas akan berimplikasi terjadinya
laju inflasi dan depresiasi mata uang (baca; rupiah). Inflasi merupakan salah satu indikator
makro ekonomi yang memiliki hubungan erat dengan nilai tukar. Dapat dikatakan,
inflasi merupakan faktor penentu dalam perubahan nilai tukar. Sukirno
menjelaskan bahwa inflasi yang terjadi pada umumnya cenderung untuk menurunkan
nilai suatu valuta asing. Kecenderungan seperti ini wujud disebabkan efek
inflasi, yakni; pertama, inflasi menyebabkan harga-harga di dalam negeri
lebih mahal dari harga-harga di luar negeri. Oleh karena itu inflasi cenderung
menambah impor. Kedua, inflasi menyebabkan harga-harga barang ekspor
menjadi lebih mahal, dan oleh karenanya inflasi cenderung pula mengurangi
ekspor. Keadaan pada yang tersebut pertama, menyebabkan permintaan ke atas
valuta asing bertambah. Keadaan pada yang tersebut kedua, menyebabkan penawaran
ke atas valuta asing berkurang. Dengan demikian, harga valuta asing akan
bertambah, ini berarti harga mata uang negara yang mengalami inflasi melorot. [Sadono
Sukirno, 2013:402].
Sejalan dengan itu, Mankiw mengatakan bahwa tingkat
harga yang terjadi di setiap negara tentunya disesuaikan untuk menyeimbangkan
jumlah uang yang beredar dan jumlah permintaan uang. Dikatakan demikian, oleh
karena nilai tukar nominal bergantung pada tingkat harga. Nilai tukar tersebut
juga bergantung pada persediaan dan permintaan uang di setiap negara. Ketika Bank
Sentral meningkatkan jumlah uang yang beredar, maka menyebabkan tingkat harga
meningkat. Kondisi demikian, menyebabkan mata uang negara tersebut
terdepresiasi terhadap mata uang lain di dunia. Dengan kata lain, ketika Bank
Sentral mencetak uang dalam jumlah banyak, maka uang kehilangan nilainya untuk
membeli barang dan jasa, serta untuk membeli mata uang negara lain. [Gregory N.
Mankiw, 2013:198].
Ekonom Unpad Kurniawan
mengingatkan, kebijakan mencetak uang akan berdampak sistemik dengan terjadinya
penurunan nilai mata uang rupiah dan laju inflasi. Keberlakuannya, menjadi
tidak terkendali. Sebagai catatan, mencetak uang tanpa ada underlying asset pernah terjadi pada tahun
1965. Laju inflasi mencapai lebih dari
500%. Hasilnya, ekonomi Indonesia tidak tercatat pulih akibat kebijakan
tersebut. Seiring dengan itu, situasi politik semakin tidak menentu.
Pemerintah seharusnya
membatalkan berbagai proyek-proyek infrastruktur dan anggaran untuk Ibukota
Negara baru. Dengan jumlah yang sangat
signifikan dapat digunakan untuk dialokasikan bagi penanganan dampak wabah
terhadap ekonomi masyarakat, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah
dan sektor informal. Bukan malah sebaliknya, akan menimbulkan masalah baru.
Pada gilirannya, tetap saja menjadi beban bagi rakyat di masa yang akan datang.
Regulasi kebijakan
keuangan negara dan stabilitas keuangan yang pada awalnya didasarkan pada
‘kedaruratan kesehatan masyarakat” akibat pandemik Covid-19 dan dengannya
menjadikan sebagai syarat “kegentingan yang memaksa”, telah kehilangan
maknanya. Keberadaannya tidak lagi menunjuk pada kepentingan keselamatan jiwa
rakyat. Keberlakuannya memang ‘dengan
sengaja’ diperuntukkan untuk perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem
keuangan. Di dalamnya kepentingan oligarki ekonomi semakin diapresiasi.
Refocusing anggaran yang tidak lagi melalui APBN-P 2020, telah menjadikan
kekuasaan semakin mendominasi. Seiring dengan itu, fungsi anggaran lembaga
legislatif telah dinegasikan.
Jakarta,
18 Mei 2020.
KOMENTAR