Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur HRS Center)
Dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila
(RUU-HIP) terdapat sintesis Pancasila sebagai bentuk baru Trisila. Trisila itu
sendiri terdiri dari sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta Ketuhanan yang
berkebudayaan. Disebutkan dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila, bahwa Trisila
yang kemudian terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong sebagai ciri
pokok Pancasila. Sintesis yang dimaksudkan adalah menunjuk pada upaya penyatuan
secara terselubung atas tiga hal yakni, “Materi”, “Tuhan” dan “Jiwa”. Ketiganya
merupakan satu kesatuan terintegrasi. Penulis menyebutnya, Tritunggal
“KEBUMEN”, singkatan dari “Keadilan Sosial”, “Budaya” dan “Mental”. Selanjutnya
dijelaskan sebagai berikut di bawah ini.
Pertama: Materi menunjuk pada Keadilan Sosial. Keadilan
Sosial disebutkan dalam RUU-HIP sebagai Sendi Pokok Pancasila. Ini bermakna,
Keadilan Sosial telah dilepaskan dari sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi mendasari, meliputi dan menjiwai sila
Keadilan Sosial. Dengan kata lain, telah terjadi perubahan posisi/mutasi atas
sila Pancasila. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa menempati posisi yang paling
bawah, sedangkan sila Keadilan Sosial menempati posisi paling atas. Keberadaanya
tentu mendasari, meliputi dan menjiwai semua sila di bawahnya, termasuk
Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun tidak demikian halnya dengan Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Hal ini secara tidak langsung mengamandemen Pasal 29 ayat 1 UUD NRI
1945, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, tergantikan dengan
“Negara berdasar atas Keadilan Sosial”. Implikasinya, akan memberikan peluang
masuknya konsep Keadilan Sosial versi sosialisme-komunisme (ateisme) dan/atau
liberalisme-kapitalisme (sekularisme).
Kedua: Tuhan menunjuk pada Budaya. Hal ini didasarkan pada
paham “Ketuhanan yang berkebudayaan” dalam RUU-HIP. Paham ini diambil dari
pidato Bung Karno saat sidang di BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Ketuhanan yang
berkebudayaan melekat erat dengan sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi yang
kemudian terkristalisasi dalam Ekasila, yaitu gotong-royong. Di sisi lain, agama (baca: Islam) tidak
menjadi dominan dalam Pembangunan Nasional, lebih diarahkan pada mental dan
spiritual. Hal ini sejalan dengan Revolusi Mental Jokowi. Jokowi pernah
mengatakan “Islam kita adalah Islam Nusantara.” Paham ini berhubungan juga
dengan paham Sekularis-Pularis-Liberalis (SEPILIS). Kesemuanya, berkorelasi
dengan teori receptie Snouck Hurgronje, yang mengatakan bahwa, “Hukum Islam
baru diakui dan dilaksanakan sepanjang Hukum Adat menerimanya”. Jadi, Hukum
Islam berada di bawah Hukum Adat. Hukum Adat sebagai penentu, bukan dimaksudkan
sebaliknya.
Ketiga: Jiwa menunjuk pada Mental. Mental menjadi salah satu
bidang Pembangunan Nasional, sementara agama sebagai subbidang bersama dengan
rohani dan kebudayaan. Hal ini bukan saja langkah mundur, namun juga
mensejajarkan agama dengan rohani dan kebudayaan adalah sesuatu yang tidak pada
tempatnya. Penempatan demikian ada maksud tertentu terkait dengan paham
Ketuhanan yang berkebudayaan serta pembentukan mental dalam rangka Revolusi
Mental. Dalam RUU-HIP disebutkan pembentukan Manusia Pancasila melalui Tata
Masyarakat Pancasila yang dicirikan salah satunya adalah “beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Di sisi lain, Tata Masyarakat
Pancasila, baik visi maupun misinya tidak menyebutkan perihal keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Apakah dapat dibenarkan keimanan dan
ketakwaan seseorang – yang berdasarkan sila pertama –, harus didasarkan dan mengacu pada sila
kedua Pancasila?. RUU-HIP juga menyebutkan, bahwa pembinaan agama sebagai
pembentuk mental dan karakter bangsa dengan menjamin syarat-syarat spiritual
dan material untuk kepentingan kepribadian dan kebudayaan nasional Indonesia
dan menolak pengaruh buruk kebudayaan asing. Disebutkan juga adanya pembinaan
atas rumah-rumah ibadah dan lembaga-lembaga keagamaan. Dimaksudkan untuk membangun
kesadaran toleransi dan kerja sama antara umat beragama dalam semangat
gotongroyong. Frasa “dalam semangat gotongroyong” adalah menunjuk pada konsep
Ekasila dan terhubung dengan paham “Ketuhanan yang berkebudayaan”. Agama hanya
menjadi alat pembentukan mental dan kebudayaan. Dimasukannya mental itu terkait
dengan gagasan Revolusi Mental yang mendahuluinya. Akan tetapi tidak pernah ada
penjelasan ilmiah-teoretis dari sang penggagasnya (in casu Presiden Jokowi) dan
bahkan berseberangan dengan konsep akhlak dalam Islam. Revolusi Mental
sepertinya mengacu pada teori kebudayaan. Revolusi Mental berkesesuaian/sejalan
dengan Islam Nusantara – melalui Fikih Kebhinekaan – dan paham SEPILIS.
Revolusi Mental disinyalir sangat dekat dengan pemikiran Karl Marx dan Revolusi
Kebudayaan China (RRT) oleh Mao Zedong.
Tritunggal KEBUMEN sangat dekat dengan sosialisme-komunisme.
Dengan dalih ingin membentuk Masyarakat Pancasila dan Manusia Pancasila, namun
mengandung penyesatan tafsir atas Pancasila. Kesemuanya itu dimaksudkan untuk
mewujudkan ideologi tunggal Pancasila dan sekaligus menghalangi penerapan
Syariat Islam secara legal konstitusional dalam sistem hukum nasional. Pada
akhirnya, patut diduga RUU-HIP memang diarahkan untuk kepentingan ‘ruang hidup’
(lebensraum) ideologi komunis dengan negara penerima manfaat yakni Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) dalam rangka menghadapi perkembangan ekonomi politik
global, khususnya pertarungan RRT versus AS.
Jakarta, 8 Juni 2020.
KOMENTAR