ENTAH sudah berapa juta umat Islam yang kini memakai
teknologi konferensi tatap muka online semacam Zoom Meeting, atau aplikasi lain serupa seperti Adobe Connect, Cisco WeBex, Google Hangouts
Meet, Microsoft Teams, GotoMeeting, Facetime, Slack, FreeConference, JitSi dan
sejenisnya. Hampir setiap hari, undangan Conference
berdatangan bahkan beberapa diantaara conference itu dilakukan rutin.
Menggunakan banyak frame agenda, kini
masyarakat, khususnya Umat Islam mulai terbiasa bertatap muka menggunakan
perangkat teknologi, dan meninggalkan cara-cara konvensional. Jika sebelumnya
hanya Video Call WhatsApp dah Skype yang digunakan, kini varian serupa
mulai banyak dimanfaatkan. Selain lebih kaya fitur, teknologi-teknologi baru
yang dikenal belakangan, ternyata lebih kaya manfaat.
Bagaimana tidak, para Ustadz yang sebelumnya harus
berangkat dakwah menggunakan kendaraan ke tempat ceramah, kini tidak lagi.
Cukup hidupkan Smartphone, klik
aplikasi Konferensi Daring, maka pengajian bisa berlangsung. Bahkan, jika
menggunakan aplikasi berbayar, penyelenggara pengajian bisa mengundang ratusan
jamaah, bahkan ribuan, tergantung kemampuan bayar bulanan terhadap aplikasi
tersebut. Oleh karenanya, apabila sebelum pandemic,
seorang ustadz tidak memiliki smartphone, maka karena tuntutan situasi,
barang canggih tersebut “terpaksa” dibeli, agar program ceramahnya tidak
terputus. Teknologi tatap muka daring yang awalnya menjadi barang mahal, yang
biasanya hanya khusus digunakan untuk dunia perkuliahan jarak jauh, kini sudah
digunakan oleh para panitia pengajian untuk tetap menjalankan program dakwah
rutin mereka. Bahkan, bagi para tokoh tertentu, kini mereka bisa memiliki
channel sendiri, memanfaatkan wawancara jarak jauh menggunakan aplikasi tatap
muka yang ada.
Selain itu, Umat Islam yang kini terhenti usahanya karena
pandemic, juga tidak mau menyerah.
Bantuan teknologi, telah mengubah cara hidup mereka. Jika sebelumnya jual beli
hanya dilakukan melalui cara konvensional di toko-toko dan pasar, maka kini
tidak lagi demikian. Selain membuka toko
online melalui aplikasi semacam Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Blibli,
OLX dan semacamnya, maka emak-emak ibu rumah tangga mulai kreatif. Jual beli
dilakukan menggunakan grup komunitas Telegram
maupun WhatsApp. Hasilnya cukup
menarik. Cara-cara dagang berbasis teknologi, telah mengubah cara hidup setiap
orang. Jika semula harus bertemu dan serah terima barang melalui tatap muka
alias COD (Cash On Delivery), maka
kini perdagangan mereka, bisa dilakukan secara online menggunakan jasa antar
jemput dagangan. Maka ketika para ojek online tidak lagi boleh mengangkut
manusia, satu-satunya solusi bagi mereka adalah antar jemput barang.
Salahsatunya, ya barang dagangan. Oleh karena itu, siasat demi siasat di masa pandemic, ternyata terus bermunculan
dengan hal-hal baru.
Fenomena Baru
Maka tidak heran, perkembangan kehidupan baru, mau tidak
mau juga telah mengubah peta bisnis. Meskipun mal dan toko komputer tutup,
namun bukan berarti jual beli barang elektronik pintar itu berhenti. Portal dan
website mereka kini kebanjiran order. Mereka tetap bisa melakukan transaksi
besar selama pandemic. Bahkan, jasa
service elektronik pun malah makin kreatif. Jika semula pengguna barang
elektronik harus membawa benda elektroniknya ke service center, tapi kini person pemilik keahlian jasa service
electronic, laris manis karena mereka jadi dimanfaatkan oleh rumah-rumah
penduduk untuk dipanggil ke rumah, membetulkan peralatan elektronik mereka yang
rusak.
Yang bikin kagum adalah, semangat mempelajari cara hidup
selama masa pandemic, ternyata cukup
besar. Dulu, yang rajin muncul di layar smartphone,
khususnya agenda pengajian, kalau nggak Ustadz Abdul Somad, Ustadz Adi Hidayat,
dan beberapa Ustadz favorit online seperti AA Gym, Felix Siauw, sebagainya.
Merekalah yang sering menjadi rujukan tontonan Umat di layar Handphone. Namun kini, penceramah tak
segan belanja software via online untuk bisa membuat kemasan serupa
dengan para seniornya. Tak sedikit yang mengaku kini mereka sudah terbiasa
dengan kerja mandiri: merekam, mengedit, dan mengedarkan sendiri hasil karya take camera-nya. Vlog yang dibikin, tak
lagi membutuhkan tenaga banyak, karena seluruh software maupun teknologi untuk mengemasnya, sudah disediakan di
berbagai toko online. Pada akhirnya, masyarakat dibuat terbiasa memproduksi
sendiri, dan melempar ke dunia maya juga dilakukannya sendiri. Hidup independen
semacam ini, benar-benar terjadi di berbagai sektor.
Hal itu terjadi, karena masyarakat mulai berubah, dari
kebiasaan semula yang enggan menyentuh mesin pencari data semacam Google, kini menjadi user internet
aktif. Mereka yang lebih dulu mendapat
informasi penting dari internet, kemudian menyebarkannya melalui komunitas grup
media sosial. Dari sanalah, perubahan itu terjadi. Informasi dari grup ke grup
media sosial itulah, yang menyebabkan edukasi di luar kampus berlangsung tanpa
henti sepanjang waktu. Sekarang, kuncinya tinggal satu: yakni kuota. Tampaknya,
provider juga paham akan perubahan ini. Ada indikasi, harga pulsa internet
mulai ada kenaikan. Hanya saja, masyarakat tampaknya tidak punya jalan lain.
Karena tanpa membeli kuota yang cukup, maka proses alih teknologi di atas
menjadi masalah. Maka dari itu. Berapapun harganya, masyarakat tetap akan
membeli. Yang jelas, ini akan menjadi modal penting. Bahwa, setelah pandemic
usai nanti, masyarakat akan tahu dan bisa memiliki cara baru hidup normal (New
Normal), setelah sekian lama belajar dalam keterpaksaan selama wabah ini....
..Selengkapnya dapat dibaca di Majalah Tabligh edisi Juni 2020...
KOMENTAR