Dipenghujung
bulan Oktober 2020 melalui sosial media warga net ramai memperbincangkan
pernyataan Presiden Perancis, Emmanuel Macron, yang menyatakan bahwa “Islam
adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini, kita tidak
hanya melihat ini di Negara kita”. Jelas sekali pernyataan Macron mencoba untuk
men-generalisir apa yang tejadi di negaranya dengan Negara belahan dunia
lainnya. Macron beralasan bahwa apa yang dia ucapkan adalah rencana untuk
memerangi separatisme dan khususnya fokus pada Islam. Menurutnya, ada kebutuhan
untuk membebaskan Islam di Perancis dari pengaruh asing. Hal ini merupakan
bagian dari upaya pemerintah Perancis untuk mengajukan rancangan undang-undang
tentang sekuleritas dan kebebasan pada bulan Desember mendatang untuk
memperkuat undang undang 1905 yang secara resmi telah memisahkan gereja dan
Negara di Perancis. Macron berpendapat bahwa sekularisme adalah semen dari
persatuan Perancis. Apapun yang nampak sebagai afiliasi agama di ruang publik,
termasuk di sekolah, akan dilarang. Bahkan saat ini pemerintah Perancis telah
melarang penggunaan jilbab di sekolah-sekolah Perancis dan bagi pegawai negeri
di instansi pemerintahan.
Dengan menggunakan
pendekatan teori praksis sosial seorang filsuf dari Perancis, Pierre Bourdieu,
setidaknya dapat dianalisis pernyataan yang keluar dari mulut Macron. Teori praksis
sosial yang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu merupakan hasil dialektika perpaduan
antara habitus, arena, dan kapital. Ketiga faktor tersebut yang kemudian dapat
membentuk suatu sikap bagi pelaku sosial.
Menurut
pemikiran Bourdieu, habitus merupakan nilai-nilai yang dihayati oleh manusia
dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama
sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan bersikap yang menetap di dalam
diri seseorang. Sedangkan hal-hal eksternal dari diri pelaku sosial berasal
dari yang disebut dengan arena. Arena merupakan struktur obyektif yang ada di
luar yang kemudian berpengaruh terhadap sikap dan perilaku pelaku sosial.
Dari pernyataan
Macron tentang Islam, maka dapat dipahami bahwa pengaruh sekulersime dan Islamophobia
yang ada di Perancis dirasakan cukup kuat sehingga kemudian membentuk pola pikir
dan sikap dari Macron. Agama bukanlah suatu hal yang sakral di Perancis.
Pengalaman di era Zaman Kegelapan nampaknya membuat trauma warga Perancis
terhadap agama. Blasphemy bisa jadi
sudah dianggap menjadi kelaziman di Negara Perancis. Tidak hanya pernyataan
Macron baru-baru ini, sebelumnya juga majalah satire dari Perancis, yaitu Charlie
Hebdo pernah menerbitkan karikatur yang ditujukan kepada tokoh Nabi Muhammad. Dalam
pandangan Islam, hal ini merupakan termasuk bagian dari blasphemy atau
penistaan agama.
Selain habitus
dan arena, praksis sosial juga ditentukan oleh faktor kapital. Kapital inilah
yang memungkinkan pelaku sosial untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan di
dalam hidupnya. Kapital bukan hanya sekedar materi, namun diantara bentuk kapital
adalah kekuasaan. Tentunya Macron yang juga merupakan seorang presiden,
memiliki kapital yang sangat kuat agar ucapannya didengar oleh warga negaranya
bahkan dalam skala global.
Dominasi
simbolik sangat terasa dibalik pidato Macron. Memang pidatonya tersebut
merupakan respon atas adanya tindakan pemenggalan kepala seorang pengajar
sekolah menengah pertama yang bernama Samuel Paty oleh seorang pemuda yang
bernama Anzorov, warga keturunan Chechnya yang merupakan seorang muslim. Namun
demikian, peristiwa tersebut tidaklah berdiri sendiri. Ada faktor pemicunya,
yaitu Samuel Paty melakukan tindakan blasphemy dengan menampilkan karikatur yang
dianggap sebagai ilustrasi Nabi Muhammad yang pernah diterbitkan oleh Charlie
Hebdo. Karikatur tersebut ditunjukkan kepada muridnya saat mengajarkan tentang
kebebasan berekspresi.
Pernyataan
Macron yang menyerang keyakinan warga Islam dunia, tentu menimbulkan reaksi
keras. Produk-produk asal Perancis pun diboikot oleh Negara-negara mayoritas
berpenduduk muslim. MUI juga telah mengeluarkan pernyataan himbauan untuk
memboikot. Presiden Turki, Recep Tayeb Erdogan, bahkan menilai bahwa Marcon telah
kehilangan akal sehatnya.
Macron sebagai
seorang presiden, yang seharusnya mengedepankan azas keadilan, justru pernyataannya
malah semakin menunjukkan kebenciannya terhadap agama. Pola pikir Macron yang
cenderung oposisi biner ini tentu sangat berbahaya. Macron mengganggap apa yang
dilakukan oleh Anzorov yang memenggal kepala Samuel Paty, merupakan refleksi
dari agama. Tentu ini adalah suatu anggapan yang tidak mencerminkan azas keadilan.
Seharusnya Macron juga melihat bahwa tindakan Samuel Paty yang memicu peristiwa
tersebut merupakan bentuk kesalahan yang tidak dapat ditolerir. Ironisnya Macron
justru memberikan penghormatan kepada Samuel Paty dengan penghargaan Legion
of Honor sebagai penghargaan tertinggi untuk warga sipil. Samuel Paty
dianggap telah mewakili nilai-nilai sekuler dan demokratis Republik Perancis.
Sekalipun Macron
pernah menyatakan bahwa blasphemy bukanlah suatu tindakan criminal[1]
di Negara Perancis, namun pemikirannya yang cenderung abai terhadap keyakinan orang
lain tentu bukanlah hal yang bisa dibenarkan. Ini jelas sekali menunjukkan
kekerasan simbolik dalam upaya menindas suatu komunitas yang tidak sama dengannya.
Sekalipun ia tidak sependapat bahwa blasphemy sebagai suatu bentuk tindakan
kriminal, namun setidaknya ia berusaha menjaga agar tidak terjadi blasphemy di negaranya
karena itu dapat menimbulkan rentetan peristiwa seperti kejadian sebelumnya.
Menjadikan blasphemy
sebagai kedok kebebasan berpikir tentu tidak dapat dibenarkan. Blasphemy
jelas-jelas merupakan salah satu bentuk kekerasan simbolik. Melakukan pelecehan
dan penistaan terhadap apa yang diyakini oleh orang yang berbeda keyakinan
tentu merupakan suatu sikap yang tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Manusia
memiliki perasaaan dan kehormatan, manakala kehormatan tersebut dilecehkan maka
akan muncul amarah.
Amat lucu jika
suatu Negara yang selalu meneriakkan jargon liberte-egalite-fraternite, namun
justru terdepan dalam melakukan kekerasan simbolik melalui
pernyataan-pernyataan yang kontroversial. Atau jangan-jangan itu hanya sekedar
jargon palsu sebagai kedok Negara yang memiliki riwayat sebagai negara penjajah
sehingga dengan itu ia mudah melakukan upaya-upaya kekerasan simbolik untuk
melanggengkan hegemoninya atas rakyatnya sendiri dan Negara bekas jajahannya. Jargon
yang indah dan lekat dengan nilai-nilai humanis, namun justru digunakan untuk
melanggengkan kekerasan simbolik oleh Sang Presiden. Tentu ini merupakan hal
yang ironis dan kontradiktif.
Jika Macron tetap memelihara sikap melindungi pelaku blasphemy, maka
situasi seperti ini akan terus berulang. Salah satu cara agar situasi tersebut berhenti
adalah dengan mengubah habitus Macron. Mulai saat ini ia harus lebih peka
terhadap hal-hal yang sensitif bagi sebagian banyak orang, khususnya warga
Muslim Perancis dan dunia. Macron perlu banyak belajar lagi tentang nilai-nilai
yang ada di dalam agama Islam. Jiak ia mau memahami, Islam melarang adanya
cacian terhadap keyakinan dan agama orang lain termasuk juga melarang adanya
pembunuhan tanpa alasan yang benar. Memahami kedua nilai ini saja, setidaknya menjadikan
Macron sebagai presiden yang lebih adil dan bijak. Sebagai Perdana Menteri,
tentu dia memiliki kewanangan untuk menghimbau warganya agar saling memiliki
toleransi dan melarang adanya blasphemy. Dengan demikian antara habitus, arena,
dan kapital yang ia miliki dapat difungsikan untuk perubahan yang lebih baik. Wallahua’lam.
Oleh: Miqdam Awwali Hashri
KOMENTAR