Mengerikan. Foto para jenasah korban penembakan aparat di KM 50, akhirnya beredar luas. Bahkan, dokumentasi video berisi proses tertangkapnya beberapa orang yang diduga anggota BIN (Badan Intelijen Nasional) oleh FPI, belakangan juga beredar. Munculnya bukti-bukti nyata kekejian dalam kasus KM 50, tak bisa lagi dicegah. Informasi yang masih misteri, dan kemungkinan hanya menunggu waktu, juga ada dugaan kuat para pemegang informasi itu akan segera ‘bertarung’ di dunia maya. Diantara informasi-informasi tersebut, ada misalnya CCTV di sekitar TKP (Tempat Kejadian Perkara), hingga dugaan transkrip pembicaraan orang-orang yang diduga tangan intelijen, beberapa hari sebelum peristiwa KM 50. Transkrip itu konon diambil dari alat komunikasi para oknum yang tertangkap FPI di beberapa tempat, diantaranya di Megamendung dan Petamburan. Jaman Media Sosial, tak lagi bisa dilawan. Sekalipun ada pihak yang akan menghambat, atau sekalipun berniat menutup “bau busuk” kejadian itu dengan menutup semua pintu, tapi pada akhirnya media sosial menjalankan misinya: melengkapi informasi yang tidak dimunculkan media mainstream. Di sinilah masyarakat menjadi melek. Andai saja di dunia ini hanya ada media mainstream, bisa dibayangkan pada kejadian KM 50 yang melenyapkan 6 nyawa anak bangsa, kemungkinan akan terus menjadi gelap. Hanya segelintir media yang berani menurunkan jurnalis investigasinya, dalam rangka kontribusi menguak misteri KM 50 yang oleh beberapa kalangan, dianggap sebagai penghilangan nyawa di luar sistem peradilan (Extra Judicial Killing/unlawful killing).
Tidak diketahui, siapa saja pihak-pihak yang ingin kasus ini gelap. Yang pasti, dari berbagai sumber yang sampai di redaksi Tabligh, ada beberapa fenomena yang cukup menyedihkan, dimana pihak-pihak yang tahu kejadian itu, kini menjadi takut untuk berbicara kepada wartawan. Para saksi yang ada di sekitar area penjualan makanan dan minuman di sekitar TKP yang terlanjur membocorkan kesaksiannya kepada media, belakangan harus kecewa. Bagaimana tidak. Entah ini kebetulan atau tidak, Rest Area KM 50 belakangan ramai menjadi perbincangan, akhirnya juga ditutup oleh pihak pengelola jalan tol. Alasannya, penutupan tersebut atas arahan Korlantas Polri. Jika memang penutupan Rest Area KM 50 ini terkait dengan kejadian pembantaian 6 anggota FPI, lalu dimana kaitannya? Namun jika memang tidak terkait, kenapa ditutupkan setelah kejadian tewasnya 6 syuhada tersebut?
Banyak pertanyaan bergelayut. Kemungkinan besar, ada pihak-pihak yang saling pegang informasi untuk kasus KM 50. Di satu sisi, kepolisian yang pasti memiliki banyak info yang tidak dimiliki FPI, namun di sisi lain, ternyata pihak FPI juga pelan tapi pasti, seiring dengan waktu, mulai mendapatkan banyak informasi baru yang datang dari sumber-sumber yang bonafit karena ada bukti secara fisik. Akibat dari adanya saling pegang informasi strategis inilah, sangat mungkin, antara FPI-Kepolisian saling intip dan saling lirik, kemungkinan dapat mengetahui fakta apa yang dimiliki kedua belah pihak. Masing-masing pihak, tak mau begitu saja obral data dan fakta ke publik, terkait kasus yang menghebohkan dunia ini.
Ada semacam saling “sandera”. Posisi Habib Rizieq yang sudah dikurung di balik jeruji besi, adalah satu “kemenangan” Polri melawan FPI. Dengan adanya kenyataan ini, maka FPI sangat khawatir tentunya, karena Imam Besar-nya, kini ada di tangan Polisi. Sementara, tidak mudah mengeluarkan HRS pada situasi demikian. Sementara, pihak FPI kemungkinan besar masih memegang kartu truf juga. Ini terbukti, beberapa dokumen yang semula dianggap hoax oleh pihak lain, tetapi dengan beredarnya bukti video dan gambar belakangan ini, maka stample hoax kini menjadi tak laku lagi. Apalagi adanya rekaman komunikasi dan voice note dari FPI, bisa saja bikin Polri kebingungan membantah fakta.
Bahkan, dari hasil olah TKP di KM 50, yang secara nyata berubah dari informasi resmi di awal kejadian, tentu akan menambah kepercayaan publik terhadap FPI. Pasalnya, ada beberapa isu penting yang hingga kini tak mudah dijelaskan, dimana akibat perubahan dan gelapnya informasi, menyebabkan FPI di atas angin. Diantara informasi-informasi yang sumir itu adalah: soal siapa menyerang siapa; soal senjata api; soal TKP pembunuhan; dan tentang kondisi jenasah.
Siapa menyerang siapa?
Penyerangan 6 anggota FPI terhadap Polisi, seperti dirilis di awal hingga terekam dalam olah TKP, sebenarnya menyisakan pertanyaan serius. Pasalnya, dari awal, FPI tidak tahu apabila pihaknya sedang diincar atau diintai oleh aparat di sepanjang perjalanan mengawal HRS. Status HRS yang bukan TSK, tentu menjadikan pihak FPI bisa merasa tenang. Apalagi, dalam kasus baru terkait kerumunan, FPI telah membayar denda sebesar Rp. 50 juta kepada negara. Artinya, ketika barangsiapa dalam kasus pidana telah membayar denda, maka bentuk hukuman fisik dihilangkan. Oleh karenanya, banyak pihak menyesalkan, ketika diketahui bahwa ternyata ada penguntitan alias pengintaian kepada warga negara yang sedang melakukan kehidupan normal di lingkungannya. Terutama pengintaian kepada HRS dan komuitasnya. Jika benar ada penyerangan FPI pada aparat di jalan tol, tentu ada sebabnya. Kemungkinan Pertama, FPI tahu bahwa pihaknya sedang diganggu. Kedua, ada bukti bahwa yang mengganggu itu aparat resmi. Pada kasus ini, sesuai dengan bukti percakapan antara awak FPI di lapangan, diketahui bahwa mereka tidak tahu bahwa dirinya sedang dikuntit aparat. Mereka tahunya sedang diganggu preman. Maka dari itu, tak heran jika kemudian FPI tanggal 7 pagi, sudah mengeluarkan rilis resmi bahwa ada 6 anggotanya, hilang diculik preman. Melalui jejaring media sosial, FPI secara jelas mengumumkan adanya penculikan terhadap anggota FPI yang mengawal HRS.
"Bahwa benar ada peristiwa penghadangan, penembakan terhadap rombongan IB HRS dan keluarga serta penculikan terhadap 6 orang laskar pengawal 1B. Peristiwa terjadi di dekat pintu Tol Kerawang Timur," demikian rilis resmi FPI yang disebar FPI.
FPI sendiri dalam rilis hari itu, menggunakan diksi OTK (Orang Tidak Kenal) untuk melabeli gerombolan para penculik. Oleh karena itu, kecil kemungkinan jika benar FPI menyerang OTK tersebut tanpa sebab. Namun jika FPI tahu itu para penguntit adalah Polisi, apalagi membawa surat tugas dan sedang berdinas, kecil kemungkinan FPI berani menyerang. Menyerang tanpa sebab, tidak masuk akal. Apalagi terhadap rombongan polisi pengintai yang jumlahnya banyak.
Meski begitu, Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Fadil Imran membantah.
"Terkait hal tersebut Polda Metro Jaya menyelidiki kebenaran informasi tersebut dan ketika anggota Polda Metro Jaya mengikuti kendaraan diduga adalah pengikut MRS. Kendaraan petugas dipepet lalu kemudian diserang. Dengan menggunakan senjata api dan senjata tajam sebagaimana yang rekan rekan lihat di depan ini," kata Kapolda Metro Jaya, Irjen Pol. Fadil Imran kepada wartawan.
Istilah “mengikuti” dalam keterangan tersebut, memang tidak logis jika dikaitkan dengan penyerangan dari pihak yang diikuti. Apalagi jika dikaitkan dengan pernyataan “Kendaraan petugas kemudian dipepet lalu kemudian diserang”. Dengan mengutip keterangan Kapolda Metro Jaya, maka ada kemungkinan ‘bangunan kronologi’ yang hendak disampaikan adalah: pengikut HRS memepet Polisi selama dikuntit.
Lazimnya, yang bisa memepet adalah yang mengikuti. Target yang diikuti (yang tidak tahu kalau diikuti) tidak mungkin tiba-tiba menyerang tanpa sebab. Namun karena ini sudah dirilis, maka apapun kejadiannya, adalah sesuai dengan klaim masing-masing. Hingga tulisan ini dibuat, kedua belah pihak masih pada posisi masing-masing: bertahan dengan argumennya.
Siapa punya senjata api?
Isu kedua yang cukup sensitif adalah soal kepemilikan senjata api. Pihak FPI dengan jelas menolak klaim Polisi bahwa pihaknya mempersenjatai pengawal HRS dengan senjata api. Bila benar adanya pakai senjata api, memang mungkin kejadiannya akan berbeda. Maka dari itu, agar misteri ini terkuak, maka Polisi harus menunjukkan kondisi mobilnya yang diakui telah diserang FPI. Atau bukti kondisi para anggota yang kena serangan senjata api FPI. Namun sayangnya, hingga kini, yang selalu ditunjukkan ke publik adalah hasil rekonstruksi. Pihak FPI sendiri tak bisa mendapatkan foto atau fisik mobil yang konon dipakai anggotanya dalam mengawal HRS. Sehingga teka-teki mobil inipun terus menjadi rasan-rasan (perbincangan negatif publik). Bagaimanapun, FPI adalah yang menjadi korban dalam hal ini, semestinyalah diberi akses melihat kondisi mobil miliknya. Hal itu penting agar FPI dapat melakukan pengamatan detail, apakah klaim serangan menggunakan senpi itu ada benarnya, atau tidak. Adanya keraguan FPI yang terlihat dari pernyataan para penasehat hukum FPI, memang dapat dimaklumi. Ngototnya FPI dalam keraguan menerima laporan Polisi, tampaknya bukan tanpa alasan.
Hal itu, bisa jadi belajar dari kejadian 4 Desember. Kepada para wartawan, kuasa hukum HRS Munarman menjelaskan, bahwa pihaknya memang punya bukti kuat. Pasalnya, pada tanggal itu, FPI berhasil menangkap 3 (tiga) orang yang diduga anggota BIN. Dari banyaknya kartu identitas palsu yang dipegang oleh FPI hasil penggeledahan dari yang tertangkap, ditemukan adanya satu kartu anggota BIN. Meski dibantah, namun FPI kemungkinan punya bukti lain. Yakni transkrip percakapan yang didapat dari Handphone orang yang digeledah.
Munarman mengakui, dirinya memang ada bukti bahwa rumah HRS di Sentul, Ponpes di Megamendung, dan Petamburan, terbukti diintai. Pelaku menggunakan drone. Pemilik drone itulah yang diamankan kemudian digeledah tas yang mereka miliki. Hebatnya, sekalipun FPI menangkap orang-orang yang dianggap bekerja tanpa ijin di lingkaran FPI, namun tidak ada kekerasan yang dilakukan terhadap mereka. Andai saja ada kekerasan, bisa jadi apa yang dialami FPI, lebih parah.
Tidak diketahui, apakah kejadian di KM 50 adalah efek dari tertangkapnya ketiga orang terduga BIN itu? Belum diketahui. Namun, buru-buru Deputi VII Badan Intelijen Negara ( BIN) Wawan Hari Purwanto membantah ada kaitan BIN dengan orang-orang yang tangkap laskar FPI.
“Belakangan ini beredar berita tiga anggota BIN tertangkap FPI. Itu semua adalah hoaks. Tidak ada nama anggota BIN sebagaimana dilansir tertangkap oleh FPI, mereka semua yang disebutkan oleh FPI jelas-jelas bukan anggota BIN, alias anggota BIN gadungan,” tulis Wawan dalam yang beredar, Minggu (20/12/2020).
Persoalan yang membuat FPI yang terus menjadi perbincangan publik adalah informasi kepolisian bahwa FPI yang mengawal HRS bersenjata api dan memiliki senjata tajam bahkan linggis. Bukti-bukti yang disebutkan di atas, terungkap dalam Press Conference yang dilakukan Polda Metro Jaya, 12 jam setelah kejadian.
Jangankan bukti senpi. Jarak press conference dengan kejadian, dinilai beberapa pihak terlalu lama. Kejadian yang diperkirakan berlangsung dinihari, baru diumumkan pada siang harinya. Padahal FPI sebelumnya sudah mengumumkan adanya penculikan oleh OTK di pintu tol Karawang Timur. Namun, belakangan, Polri melakukan press conference telah menembak mati 6 orang di tempat yang disebut FPI.
"Para preman OTK yang bertugas operasi tersebut menghadang dan mengeluarkan tembakan kepada laskar pengawal keluarga," demikian isi pernyataan pers FPI.
Dari rilis FPI itu, tampaknya FPI belum memahami apa yang sedang terjadi. Penghadangan dan penculikan terhadap rombongan pengawal HRS, yang semula dikira dilakukan kelompok preman, ternyata justru diakui sendiri oleh Polri, itu dilakukan tim resmi. FPI dan publik akhirnya jadi tahu.
Tetapi dari sinilah, persoalan mulai muncul. Polisi menyatakan bahwa FPI memiliki senjata api untuk menyerang polisi. Karena diserang, maka Polisi membalas serangan itu, kemudian menyebabkan 6 anggota FPI tewas. Sekilas, rilis ini meyakinkan. Namun belakangan bantahan juga mulai muncul. Pasalnya, FPI tak pernah dalam tugas pengawalan memiliki senjata api. Apalagi berani menembak polisi. Hal itu diakui Munarman. Oleh karena itu, Munarman dengan tegas menolak klaim Polisi bahwa anggotanya memiliki senjata api. Munarman tak lagi takut, bahkan menuduh itu semua adalah hoaks belaka. Baik klaim Polisi maupun bantahan Munarman, dua-duanya ternyata sulit diuji publik. Pasalnya, pada kejadian itu, yang tahu peristiwanya hanya aparat dan para korban yang sudah meninggal. Saksi-saksi yang tahu dan melihat, belakangan tak berani buka suara karena takut. Menurut Tempo, nama-nama mereka sudah tercatat di aparat. Wajar jika para saksi jadi ketakutan memberikan keterangan pada media. Terbukti, seorang jurnalis Edy Mulyadi, belakangan juga dipanggil Polisi terkait dengan investigasinya di TKP. Untuk meyakinkan anggota FPI punya senpi, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengatakan bahwa bukti FPI punya senpi karena ada bekas jelaga mesiu di salah satu tangan pengawal Rizieq yang meninggal. Meski begitu, keterangan itu ternyata tak membantu keyakinan FPI. Untuk membuktikan adanya benar tidaknya ada jelaga, tentu pihak FPI harus melihat jenasahnya. Sayang, tidak mudah untuk itu. FPI berkali-kali melalui pengacaranya meminta polisi mengeluarkan jenasah untuk dikuburkan. Namun, upaya itu gagal. Belakangan, ada dua anggota DPR RI yakni Romo H.R Muhammad Syafii dan Fadlizon dari Gerindra yang hadir di Rumah Sakit Polri, untuk membantu FPI agar jenasah segera dikeluarkan. Sekedar info, setelah lama berdebat dengan Polisi di RS Polri Kramatjati, akhirnya jenasah bisa keluar setelah lebih dari 30 jam ada di rumah sakit. Meski begitu, baik Romo Muhammad Syafii maupun Fadlizon, mengaku kecewa karena perlakuan Polri terhadapnya sebagai anggota DPR RI. Apalagi, Romo Syafii adalah Komisi Hukum di Senayan.
TKP pembunuhan
Isu liar lainnya, yakni soal TKP. Pada rilis Polisi dan rilis FPI yang dilakukan pada 7 Desember, ada benang merah cukup menarik. Baik FPI maupun Polisi, keduanya sama-sama tidak membantah bahwa kejadiannya ada di KM 50. Setidaknya, kejadian kejar-kejaran dan aksi saling tembak, berakhir di KM 50. Hanya saja, rilis tanggal 7 Desember telah menjadi abu-abu, karena minim bukti. PT Jasamarga, pada awalnya menyatakan bahwa semua CCTV di TKP rusak. Artinya, tidak satupun bukti yang dapat dipakai untuk melihat kejadian sesungguhnya. Apakah soal CCTV ini ada pihak yang melakukannya? Belum diketahui. Sulit untuk membuktikannya. Sekalipun, beberapa pihak menyatakan ini janggal. Tidak masuk akal. Namun faktanya, bermasalah. Meski PT Jasmarga menyatakan sesungguhnya CCTV tidak rusak, namun Direktur Utama PT Jasa Marga (Persero) Tbk Subakti Syukur ketika dipanggil Komnas HAM pada 14 Desember, atau sepekan setelah kejadian, Subakti mengakui ada gangguan yang menimpa 23 kamera CCTV, tepatnya sepanjang Km 49 sampai Km 72.
"Dua puluh tiga (CCTV, red) itu bukan tidak berfungsi, hanya pengiriman datanya berapa jam itu terganggu," kata Subakti.
Oleh karena itu, masyarakat kini menunggu, apa yang akan terjadi dengan CCTV tersebut. Pasalnya, Polri akan membuka CCTV yang kontroversial itu.
Meski demikian, bukan berarti persoalan selesai. Karena seperti yang terungkap dalam rekonstruksi, soal TKP ini memang menjadi tanda Tanya besar. Beberapa saksi yang ditemui wartawan, menyatakan bahwa para korban tidak semua dalam kondisi meninggal di lokasi yang terlihat para saksi. Namun, polisi menyatakan mereka tewas karena ditembak dalam kondisi tegas terukur akibat nyawa petugas yang terancam oleh para FPI yang sedang dalam kendaraan. Hanya saja, ketika para korban sudah tertangkap polisi, dan jika benar diketahui membawa senjata api, kenapa tidak diborgol? Inilah salahsatu kejanggalan yang terungkap di publik. Untuk menjawabnya, Polisi pun menjelaskan bahwa status petugas saat itu adalah dalam rangka pengintaian. Jadi, tidak membawa borgol…….hmmh.
Sesungguhnya ada celah untuk menjawab penasaran masyarakat soal lokasi penembakan. Yakni, terdapat pada HP/Smartphone para korban. Jika saja pihak FPI atau Komnas HAM diberi akses untuk itu, maka misteri yang menjadi pertanyaan media terkait lokasi penembakan akan terbuka. Dari smartphone korban, tentu bisa diketahui alur perjalanan para korban yang berjumlah 6 orang. Kenapa ini menjadi celah, karena hingga kini baik FPI mapun sebagian masyarakat masih tidak mudah meyakini bahwa lokasi penembakan ada di KM 50 atau diperjalanan selama kejar-kejaran. Atau, dalam perjalanan lain setelah KM50. Masih dianggap misteri.
Oleh karena itu, sangat penting didapatinya semua HP para korban. Akses untuk itu sesungguhnya sangat penting dan sangat urgen untuk membuka tabir yang menyelimuti kasus ini. Bagaimanapun, kasus ini sudah menembus batas negara. Berbagai belahan dunia, sudah mulai bergerak mengamati apa yang sedang menimpa para korban penembakan. Bahkan, negara-negara lain, melalui duta besarnya mulai mengunjungi markas FPI.
Kondisi jenasah
Bisa saja Fenomena Siyono terulang. Kasus yang menyita perhatian masyarakat Indonesia tahun 2015 itu, tampaknya tidak berhenti. Lima tahun kemudian, yakni tahun ini, kejadian serup kembali berlangsung. Karena tidak percaya keterangan aparat, keluarga Siyono meminta keadilan ke Komnas HAM untuk diotopsi ulang. Bersama Muhammadiyah, Komnas HAM pun setuju. Kuburan Siyono dibongkar, dan jenasahnya diotopsi kembali. Hasilnya mencengangkan. Meski polisi menolak hasil otopsi Komnas HAM dan Muhammadiyah, namun banyak bukti forensik yang mengarah pada penyiksaan terhadap Siyono. Pasalnya, tidak ada bukti perlawanan yang terdapat di tubuh Siyono. Padahal, lelaki taat ibadah tersebut, dijemput dalam kondisi sehat. Akan tetapi ternyata dipulangkan dalam kondisi sudah jadi mayat.
Kini, fenomena mirip terulang. Isu otopsi ulang terhadap 6 jenasah korban penembakan polisi, tampaknya mulai muncul. Hal itu terkait dengan beredarnya foto-foto jenasah yang sudah ada di tangan masyarakat. Dari semua jenasah, tampak sekali adanya ketidakwajaran jika dikaitkan dengan keterangan polisi sejak awal hingga olah TKP. Apalagi, FPI jelas menolak hasil otopsi tersebut.
"Yang jelas kami tak dapat mengakui dan menerima hasil autopsi tersebut karena mengabaikan ketentuan KUHAP Pasal 134 ayat (2) dan (3)," kata kuasa hukum FPI, Aziz Yanuar.
Muhammadiyah Bereaksi
Muhammadiyah tidak tinggal diam. Setidaknya itulah yang terjadi setelah kabar 6 anggota FPI tewas mengenaskan oleh aparat. Sehari pasca peristiwa sadis ini, Ketua PP Muhammadiyah Dr. Busyro Muqqodas, SH., MH menggelar jumpa pers. Atas peristiwa tersebut, Muhammadiyah prihatin.
Muhammadiyah mencatat pada bagian pertama, bahwa meninggalnya 6 anggota Front Pembela Islam (FPI) ditengah persoalan bangsa yang masih dilanda Pandemi Covid 19, disaat yang hampir bersamaan peristiwa tertangkapnya dua Menteri dalam kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, serta penyelesaian peraturan pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja yang masih berjalan dan berpotensi koruptif apabila tidak disusun dengan benar, juga akan dilaksanakannya Pemilihan Umum Kepala Daerah serentak di beberapa wilayah di Indonesia yang pelaksanaannya terasa pincang disana-sini terkait protokol kesehatan; menjadikan catatan penegakan hukum di Negara ini terasa kelam. Karenanya, saat ini perlu disikapi secara sungguh-sungguh oleh para pengemban kepentingan khususnya para penegak hukum guna menjaga pola penanganan perkara yang menghindari khususnya penggunaan kekerasan senjata api yang hanya sebagai upaya terakhir, secara terkukur sesuai SOP dan tepat sasaran, sebagaimana hukum yang berlaku.
Bagian kedua, Muhammadiyah menyatakan bahwa kasus meninggalnya 6 anggota FPI akibat tembakan oleh petugas kepolisian pada dinihari Senin 7 Desember 2020; seolah pengulangan terhadap berbagai peristiwa meninggalnya warga negara akibat kekerasan dengan senjata api oleh petugas negara diluar proses hukum yang seharusnya dan melalui pengadilan seperti pada beberapa peristiwa kematian akibat senjata api misalnya terhadap Pendeta Yeremias Zanambani di Papua, kematian Qidam di Poso, dan lainnya. Pengungkapan kematian warganegara tersebut tanpa melalui proses hukum yang lengkap perlu dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau Tim Independen yang sebaiknya dibentuk khusus oleh Presiden untuk mengungkap secara jelas duduk perkara kejadian sebenarnya.
Sedangkan bagian ketiga, Muhammadiyah menyatakan bahwa Pembentukan Tim Independen seyogyanya diberikan mandat untuk menguak semua peristiwa di Indonesia dengan melakukan investigasi dan pengungkapan seluruh penggunaan kekerasan dengan senjata api oleh aparat penegak hukum, polisi dan atau Tentara Nasional Indonesia diluar tugas selain perang, dan bukan hanya untuk kasus meninggalnya 6 Anggota FPI itu saja sehingga dapat menjadi evaluasi terhadap kepatutan penggunaan senjata api oleh petugas keamanan terhadap warganera di luar ketentuan hukum yang berlaku. Tim Independen diharapkan beranggotakan unsur lembaga negara seperti Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, unsur masyarakat, unsur profesi dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia.
Selain itu, pada bagian keempat, Muhammadiyah juga mengingatkan bahwa pernyataan kepolisan tentang penembakan anggota FPI bahwa petugas kepolisian tengah melakukan penyelidikan terkait informasi pengerahan masa, terhadap pemanggilan Habib Rizieq Shihab (HRS) oleh kepolisian perlu dilakukan evaluasi terhadap SOP-nya secara terbuka dan transparan kepada publik yang akan lebih baik bila disertai penyerahan seluruh dokumen tersebut kepada Komnas HAM atau Tim Independen guna ditimbang apakah penerapan prosedur penyelidikan yang dilakukan oleh tim dari Polda Metro Jaya itu sudah benar, tepat dan terukur sesuai SOP yang berlaku dalam penugasan semacam itu. Dengan diketahuinya bahwa anggota Kepolisian yang terlibat peristiwa itu dalam keadaan operasi tertutup atau tanpa seragam dan tanda pengenal maka perlu dijelaskan jenis kegiatan itu masuk kategori penyelidikan atau kegiatan intelijen yang diluar proses penegakan hukum yang benar. Perbedaan jenis kegiatan penyelidikan dan kegiatan operasi intelijen menjadi penting untuk bisa menilai ketepatan penggunaan kekuatan senjata api dalam perkara ini sekaligus untuk mengukur kejelasan hasil pengamatan intelijen yang diperoleh oleh kepolisian.
Pada bagian kelima, Muhammadiyah menghusulkan, bahwa merujuk pada peristiwa penembakan dimaksud, perlu diadakan evaluasi terhadap pola penangan penggunaan senjata api oleh pihak kepolisian dan olah Tempat Kejadian Perkara (TKP). Sangat disayangkan seolah tidak terdapat upaya-upaya sesuai dengan ketentuan yang berlaku terkait pengolahan dan pengamanan TKP. Apabila peristiwa terjadi kemarin karena polisi sedang melaksanakan penyelidikan, seharusnya mengikuti prosedur dalam penyelidikan dan bila mendapatkan hambatan, apalagi hambatan tersebut merupakan bentuk kekerasan, maka penyelidik melaporkan kejadian tersebut, dan sesuai prosesur melakukan pengamanan TKP, sehingga peristiwa tersebut menjadi langkah awal pembuktian adanya tindak pidana penyerangan terhadap petugas kepolisian yang sedang melaksanakan tugas. Peristiwa ini telah mengabaikan prinsip penanganan perkara sehingga diperlukan pemeriksaan terhadap 6 petugas kepolisian yang melakukan penyelidikan beserta atasan yang bertanggung jawab. Pemeriksaan terhadap petugas kepolisian tersebut menjadi jelas maksud dari adanya penyerangan dan batasan yang dibenarkan oleh hukum untuk mencegah serangan tersebut termasuk bila perlu melakukan beladiri. Penjelasan Kapolda Metro Jaya melalui media atas peristiwa itu menunjukkan sikap defensif dan sepihak dari Kepolisian yang mirip dan merupakan pengulangan terhadap berbagai persitiwa penembakan oleh pihak kepolisian terhadap pelaku yang dituduh sebagai pelaku tindak pidana dimasa lalu.
Terhadap kemungkinan penyalahgunaan senjata api, maka Muhammadiyah meminta agar penetapan TKP dan Barang Bukti serta pemeriksaan saksi-saksi segera dilakukan oleh kepolisian yang berbeda divisi atau diambil alih oleh Mabes Polri dalam hal ini Bareskrim Polri. Apabila penggunaan kekerasan dengan senjata api dilakukan diluar prosedur yang telah ditetapkan maka pertanggung-jawaban hukum harus dilakukan tidak hanya secara etik tetapi juga secara hukum pidana, untuk disidangkan di pengadilan secara terbuka. Permintaan ini tertuang pada bagian keenam.
Kemudian terkait dengan kondisi jenasah korban, maka pada bagian ketujuh, Muhammadiyah berharap, fakta adanya 6 anggota FPI yang meninggal akibat peristiwa ini, demi hukum perlu dilakukan otopsi dan olah TKP oleh tim Forensik Independen untuk mendapatkan keterangan ilmiah sebab kematian, waktu kematian dan arah peluru atau benda yang menyebabkan kematian.
Tidak hanya itu, pada bagian kedelapan, Muhammadiyah menyoroti soal kehadiran pandam Jaya. Muhammadiyah menyayangkan keterlibatan Pangdam Jaya dalam proses penjelasan peristiwa kematian 6 anggota FPI oleh pihak Kepolisian, hal ini menguatkan dugaan TNI turut diperankan dalam penanganan penyidikan tindak kejahatan yang berarti TNI telah keluar dari fungi dan tugas utama TNI.
Terkait keterbukaan informasi, Muhammadiyah meminta pada bagian kesembilan, bahwa Muhammadiyah berharap masyarakat mendapatkan seluruh informasi sebagai perwujudan hak keterbukaan informasi terhadap segala proses yang dilakukan pihak kepolisian dalam menangani perkara ini dan tim yang telah bekerja dari Komnas HAM, begitu pula bila dibentuk Tim Independen oleh Presiden.
Pada bagian penutup, yakni bagian kesepuluh, Muhammadiyah berharap masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi oleh upaya apapun guna menjaga ketertiban dan keamanan bersama sambil menanti langkah-langkah yang pasti dari semua yang berkepentingan dengan penegakan hukum.
Pernyataan Pers ini, disampaikan di Yogyakarta, 08 Desember 2020 oleh Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM dan Kebijakan Publik Dr Busyro Muqqodas, S.H. M.Hum, Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Dr. Trisno Raharjo, S.H. M.Hum dan Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah, Dr. Yono Reksoprodjo.# (mst)
KOMENTAR