Seperti diketahui, terbitnya SKB 3 Menteri pada 3 Februari lalu merupakan respons cepat atas insiden dugaan intoleransi yang menimpa salah satu siswi di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat. Siswi nonmuslim tersebut dipaksa oleh pihak sekolah untuk mengenakan jilbab saat menjalani proses belajar mengajar di sana.
Tiga menteri yakni Mendikbud Nadiem Makarim, Mendagri
Tito Karnavian, dan Menag Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan Surat Keputusan
Bersama (SKB) tentang penggunaan seragam dan atribut di lingkungan
sekolah.
SKB 3 Menteri ini terbit dengan Nomor 02/KB/2021, Nomor
025-199 Tahun 2021, dan Nomor 219 Tahun 2021 Tentang Penggunaan Pakaian Seragam
dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan
Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah.
Dalam salinan SKB 3 menteri ini
disebutkan peserta didik, pendidik dan tenaga pendidikan di lingkungan sekolah
berhak untuk memilih menggunakan pakaian seragam dan atribut tanpa kekhasan
agama tertentu atau dengan kekhasan tertentu sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Berikut ini enam poin isi yang diputuskan dalam SKB tiga menteri yang
terkait seragam sekolah:
1. SKB 3 Menteri ini mengatur sekolah
negeri yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah (pemda).
2. Peserta didik, pendidik, dan tenaga
kependidikan berhak memilih antara: Seragam dan atribut tanpa kekhususan agama.
Seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
3. Pemda dan sekolah tidak boleh mewajibkan
ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama.
4. Pemda dan kepala sekolah wajib mencabut
aturan yang mewajibkan atau melarang seragam atribut dengan kekhususan agama
paling lama 30 hari kerja sejak SKB 3 Menteri ini ditetapkan.
5. Jika terjadi pelanggaran terhadap SKB 3
Menteri ini, maka saksi akan diberikan kepada pihak yang melanggar:
Pemda bisa memberikan sanksi kepada kepala
sekolah, guru, atau tenaga kependidikan. Gubernur memberikan sanksi kepada
bupati/wali kota.
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
memberikan sanksi kepada gubernur.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Kemendikbud) memberikan sanksi kepada sekolah terkait bantuan operasional sekolah
(BOS) dan bantuan pemerintah lainnya.
Tindak lanjut atas pelanggaran akan
dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang berlaku. Sementara itu, Kementerian
Agama (Kemenag) akan melakukan pendampingan praktik agama yang moderat dan bisa
memberikan pertimbangan untuk pemberian dan penghentian sanksi.
6. Peserta didik, pendidik, dan tenaga
kependidikan beragama Islam di Provinsi Aceh dikecualikan dari ketentukan SKB 3
Menteri ini, sesuai kekhususan Aceh berdasarkan ketentuan perundang-undangan
terkait pemerintahan Aceh.
MUI
Minta Revisi
Merespon Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan sikap resmi. Sikap tersebut terangkum dalam tausiah Dewan Pimpinan MUI yang
ditandatangani Ketua Umum MUI KH Miftachul Akhyar dan Sekjen Amirsyah Tambunan
pada Kamis (11/2/2021)
Dalam tausiah tersebut, MUI menghargai isi SKB 3 Menteri soal seragam sekolah.
Pertama, SKB tersebut dapat memastikan hak peserta didik menggunakan seragam
dengan kekhasan agama, sesuai keyakinannya, serta tidak boleh dilarang oleh
pemerintah daerah dan sekolah. "Kedua, SKB ini melarang pemerintah daerah
dan sekolah memaksakan seragam kekhasan agama tertentu pada penganut agama yang
berbeda," tulis tausiah tersebut yang diterima Kompas.com, Sabtu
(13/2/2021). Namun, MUI juga meminta dilakukan revisi atas isi SKB 3 Menteri
agar tidak menjadi polemik, kegaduhan, dan ketidakpastian hukum.
Kegaduhan tersebut, menurut MUI, terdapat pada diktum ketiga dari SKB yang
mengandung tiga muatan dan implikasi yang berbeda. Pertama, implikasi
terkait pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh melarang penggunaan seragam
dengan kekhasan agama tertentu. Hal ini, menurut MUI, patut diapresiasi karena
memberi perlindungan pelaksanaan agama dan keyakinan masing-masing peserta
didik, pendidik dan tenaga kependidikan. Kedua, ketentuan yang memiliki
implikasi adalah pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan,
memerintahkan mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam dengan kekhasan
agama tertentu.
Menurut MUI, hal tersebut harus dibatasi pada peserta didik, pendidik, dan
tenaga kependidikan) yang berbeda agama. "Sehingga tidak terjadi pemaksaan
kekhasan agama tertentu pada pemeluk agama yang lain," lanjut tausiah
tersebut. Ketiga, apabila perintah, persyaratan, atau imbauan itu
diberlakukan terhadap peserta didik yang seagama, pemerintah tidak perlu
melarang. Menurut MUI, sekolah dapat memandang hal itu bagian dari proses
pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik "Hal itu
seharusnya diserahkan kepada sekolah, bermusyawarah dengan para pemangku
kepentingan (stakeholders), termasuk
komite sekolah, untuk mewajibkan atau tidak, mengimbau atau tidak. Pemerintah
tidak perlu campur tangan pada aspek ini," tulis tausiah tersebut.
Berdasarkan hal tersebut, MUI menyarankan, pemerintah mestinya membuat
kebijakan yang memberikan kelonggaran kepada sekolah yang diselenggarakan
pemerintah daerah untuk membuat pengaturan yang positif, yang mendidik para
peserta didik untuk taat menjalankan ajaran agama sesuai keyakinannya, termasuk
dalam berpakaian seragam kekhasan agama. MUI berpandangan, pendidikan tidak
hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer
of knowledge), tetapi penanaman nilai-nilai (transfer of values), dan pengamalan ilmu serta keteladan (uswah). Oleh karena itu, sekolah yang
memerintahkan atau mengimbau peserta didik, dan tenaga kependidikan agar
menggunakan seragam dan atribut yang menutup aurat, termasuk berjilbab,
merupakan bagian dari proses pendidikan untuk mengamalkan ilmu dan memberikan
keteladanan.
Selain itu, MUI menyoroti diktum kelima huruf d SKB 3 Menteri yang
berbunyi: "Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan sanksi kepada
sekolah yang bersangkutan terkait dengan bantuan operasional sekolah dan
bantuan pemerintah lainnya yang bersumber dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan". Aturan tersebut,
menurut MUI, tidak sejalan dengan ketentuan dalam UUD 1945 Pasal 31 ayat (2)
bahwa setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya. Lebih lanjut, MUI meminta Kemendikbud, Kemendagri dan Kemenag
lebih fokus dalam mengatasi dampak akibat pandemi Covid-19.
Dalam Tausiyah MUI terkait SKB tiga menteri tersebut juga, Sekretaris
Jenderal (Sekjen) MUI, Buya Amirsyah Tambunan menyampaikan bahwa MUI menekankan
agar SKB ini dibatasi pada pihak yang berbeda agama.
Dia menjelaskan, klausul pemerintah daerah dan sekolah tidak boleh
mewajibkan, memerintahkan, mensyaratkan, dan mengimbau penggunaan seragam
dengan kekhasan tertentu bisa dimaknai luas dan beragam.
"Implikasi ini harus dibatasi pada pihak (peserta didik, pendidik, dan
tenaga kependidikan) yang berbeda agama, sehingga terjadi pemaksaan kekhasan
agama tertentu pada pemeluk agama yang lain," kata Buya Amirsyah Sabtu
(13/2).
Buya Amirsyah mengatakan, bila mewajibkan, perintah, persyaratan atau
imbauan itu diberlakukan terhadap peserta didik yang seagama, pemerintah tidak
perlu melarang. Sekolah bisa saja memandang itu sebagai bagian proses
pendidikan agama dan pembiasaan akhlak mulia terhadap peserta didik.
"Hal itu seharusnya diserahkan kepada sekolah, bermusyawarah dengan
para pemangku kepentingan, termasuk komite sekolah, untuk mewajibkan atau
tidak, mengimbau atau tidak. Pemerintah tidak perlu campur tangan pada aspek
ini," ujarnya.
Tanggapan
Penutup
Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan
Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (PAUD Dikdasmen
Kemendikbud), Jumeri menanggapi permintaan Majelis Ulama Indonesia
(MUI) agar Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri direvisi.
Menurut Jumeri,
saat dikonfirmasi Republika, belum ada
koordinasi antarmenteri untuk menanggapi kritik terhadap SKB tiga menteri yang
disampaikan sejumlah pihak. Dia menyebutkan, kemungkinan tidak ada pembahasan
lebih lanjut atas SKB ini. Dia juga mengaku tidak mengetahui SKB ini akan
direvisi atau tidak.
Masih misteri! []
Sumber: Tempo, Kompas,
Republika, Detik
KOMENTAR