Imron Rosyadi
Peneliti Pada PSEI-FEB Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Sebulan
yang lalu sempat tersiar kabar, Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) khawatir pemerintah tidak mampu lagi membayar utang. Pasalnya, sepanjang masa pandemi utang pemerintah
mengalami lonjakan sangat siginifikan. Per-April
2021, Kemenkeu mencatat utang pemerintah telah mencapai Rp 6.527,29 triliun.
Sementara sebulan kemudaian hanya menurun
tipis menjadi Rp 6.418,15 triliun.
Belum lagi, pemerintah dibayang-bayangi utang BUMN yang terus membengkak.
Menurut laporan Hasil pemeriksaan
BPK 2020, jumlah utang yang terbilang fantastis tersebut, membuat kemampuan
membayar utang (solvabilitas) pemerintah menjadi menurun.
Meskipun, pemerintah bersikukuh
besaran utang masih aman, karena di bawah rasio ambang
batas aman, yakni 41,18 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Namun dari sisi pendapatan negara, rasio utang pemerintah terhadap penerimaan telah mencapai angka yang mengkhawatirkan,
yakni sebesar 369 persen. Rasio ini jauh lebih tinggi dari patokan interval rasio aman yang direkomendasikan International
Debt Relief (IDR)
sebesar 92-172 persen. Sedangkan International Monetary Fund (IMF) mematok sebesar 90-150 persen.
Selain itu, rasio utang terhadap penerimaan ekspor pemerintah telah mencapai
46,77 persen. Rasio ini telah melampaui
batas interval yang dipatok IMF sebesar 25-35 persen. Sementara itu, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar
19,06 persen. Angka
ini jauh melebihi standar IDR sebesar 4,6-6,8 persen dan standar IMF
sebesar 7-10 persen.
Krisis Finansial
Dalam
konteks merosotnya solvabilitas negara, Islam melarang umatnya mengambil hutang
di luar batas kemampuan membayar utang, atau dalam terminologi Islam disebut
sebagai gholabatid dayn (terlilit hutang). Sebab individu/rumah tangga dan/ atau negara yang terlilit utang menimbulkan dampak buruk bagi kedaulatan negara, yakni bisa saja negara yang berhutang dikendalikan oleh negara pemberi hutang, atau dalam literatur Islam disebut sebagai qahrir rijal (laki-laki yang menindas). Hal ini sebagaimana terkonfirmasi dalam teks do’a Nabi perihal melunasi hutang:
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari keluh kesah dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan penakut, dari lilitan utang dan laki-laki yang menindasku”
Setidaknya terdapat dua alasan,
mengapa solvabilitas pemerintah menurun. Yakni, pertambahan hutang melampaui pertumbuhan
penerimaan negara, dan pertambahan utang lebih tinggi dari pertumbuhan PDB.
Terutama tahun anggaran 2020/2021 yang
dipengaruhi pembatasan mobilitas masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Menurunnya
solvabilitas negara boleh jadi mengarah pada gagal bayar utang (default) sebagaimana dikhawatrikan BPK, andaikan penambahan utang tidak produktif. Selanjutnya, gagal bayar bisa menjadi pemicu terjadinya krisis ekonomi. Hal ini sebagaimana dialami sejumlah negara di dunia.
Misalnya,
Meksiko pada
12 Agustus 1982 mengalami gagal bayar utang luar negeri yang bersumber dari perbankannya, hingga akhir Desember 1982. Imbasnya nilai tukar peso telah terdepresiasi 100 persen. Dampak berikutnya, Meksiko mengalami krisis finansial
yang cukup dalam.
Demikian pula Russia, pada 18 Agustus 1998 mengalami gagal bayar pada surat utang domestik. Sehingga mata uang Rubbel terdepresiasi sebesar 262 persen pada kurun waktu Juli 1998 hingga Januari 1999, dan memantik krisis keuangan di Russia. Serta berdampak luas pada skala global medium 1980-2000.
Sementara itu,
untuk bisa melacak, dan menemukan cikal bakal terjadinya krisis keuangan/ekonomi, terdapat dua kelompok pemikiran utama. Pertama, kelompok underconsumption.
Kelompok ini berpandangan bahwa krisis ekonomi berasal dari merosotnya permintaan terhadap barang-barang konsumsi, sementara kapasitas produksi barang-barang tersebut terus menanjak.
Hal tersebut
bisa terjadi
karena peningkatan sisi permintaan (demand-side), tidak mampu lagi menyerap laju kenaikan volume produksi (supply-side). Sehingga
upaya melanjutkan perluasan kapasitas produksi menjadi kurang bermanfaat. Imbasnya gairah investasi
melemah, yang berakibat turunnya pendapatan nasional (PDB) secara keseluruhan.
Kedua, kelompok overinvestment. Tipe krisis ini
bermula dari
tingginya gelombang pasang investasi, namun tidak diikuti hasrat tabungan masyarakat.
Disaat yang sama, investasi tersebut sebagian besar dibiayai utang (kredit) bank yang terus membengkak. Alhasil, investasi (dibiayai utang) melaju lebih cepat ketimbang
pembentukan modal
sendiri
(ekuitas).
Selanjutnya,
lantaran kemampuan perbankan membiayai investasi sangat terbatas, maka pada saatnya nanti kapasitas kredit perbankan berkurang. Penurunan kredit berdampak pada turunnya investasi, yang berakibat pendapatan nasional (PDB) juga menurun. Nah, dari sinilah krisis finansial dimulai.
Kasus (krisis) di tanah air tampaknya lebih dekat dengan tipe krisis underconsumption.
Sebab, pembatasan mobilitas masyarakat akibat pandemi, telah menyulut PDB merosot dari sisi konsumsi. Sementara, pada masa kenormalan baru, sejatinya konsumsi mulai
meningkat, namun tidak setimpal dengan kenaikan kapasitas produksi barang-barang konsumsi. Karena daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih.
Kondisi tersebut terkonfirmasi dari data BPS yang menunjukkan sektor konsumsi masyarakat
mengalami kontraksi berturut-turut nyaris sepanjang periode 2020/2021. Pada triwulan II-2020 sektor konsumsi rumah tangga tumbuh
sebesar -5,52 persen. Sementara pada triwulan III-2020 mengalami kenaikan tipis, tapi
masih terkontraksi sebesar -4,04 persen, kemudian triwulan IV-2020 (-3,61 persen), dan triwulan I-2021 (-2,23 persen).
Selanjutnya, Obaidullah (2005)
merinci etika sistem keuangan Islam yang harus dipenuhi agar terhindar dari
tekanan krisis yang lebih berat. Pertama, kebebasan dalam
kontrak, maknanya suatu kontrak tidak akan sah apabila melibatkan unsur paksaan pada salah satu pihak. Dalam hal
ini keberanian pemerintah negosiasi merevisi kontrak utang dengan
negara pemberi utang adalah langkah strategis. Kontrak
sebaiknya diarahkan
ke akad
mudharabah atau musyarakah
yang lebih berkeadilan. Namun, apakah Indonesia
mempunyai daya tekan
terhadap negara
kriditur
(terutama China)?.
Kedua, Bebas dari Riba
(bunga), artinya tidak ada hadiah untuk hanya
karena
preferensi waktu semata. Hadiah, laba atau
manfaat harus selalu menyertai tanggung jawab atau
risiko. Hal ini berarti pembayaran bunga yang sedemikian
membengkak harus di-restrukturisasi baik waktu
pembayaran maupun besarannya. Ketiga, bebas dari gharar
(ketidakpastian yang berlebihan). Maknanya, melakukan kontrak
dalam kondisi
ketidakpastian yang berlebihan tidak dibolehkan.
Keempat, bebas dari al-qimar (judi) dan al-maysir (spekulasi atau
penghasilan tanpa kerja), artinya melakukan kontrak dalam kondisi
ketidakpastian yang berlebihan (gharar) adalah serupa dengan perjudian (al-qimar), dan spekulasi
asal-asalan (uninformed speculation) dalam bentuk terburuknya juga serupa dengan perjudian (al-qimar).
Islam secara eksplisit melarang keuntungan yang dibuat dari permainan untung-untungan, yang
melibatkan pendapatan tanpa kerja (al-maysir).
Kelima, bebas dari kontrol dan
manipulasi harga, berarti harga ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Tidak boleh ada campur tangan
dalam proses pembentukan harga dari regulator. Syaratnya,
kekuatan permintaan dan penawaran harus alamiah dan bebas manipulasi artifisial.
Keenam, hak untuk bertransaksi
dengan harga yang adil, artinya harga merupakan hasil dari kekuatan permintaan dan penawaran tanpa adanya intervensi
atau manipulasi.
Ketujuh, hak untuk mendapatkan
informasi yang sama, memadai dan akurat, artinya tidak boleh ada informasi asimetris, tidak ada
penyembunyian,
dan tidak ada informasi yang merugikan salah satu pihak. Kedelapan, bebas dari darar
(kerugian), yang artinya tidak ada pihak ketiga yang dirugikan oleh kontrak dua belah pihak.
Kesembilan, kerjasama dan
solidaritas bersama, artinya setiap orang harus membantu satu sama lain dalam melakukan kebaikan dan kebenaran, dan tidak
boleh membantu satu sama lain dalam dosa dan permusuhan (Al-Maidah: 2). Kesepuluh,
maslahah mursalah (kepentingan umum yang
tidak terbatas), yang artinya perhatian tentang kepatuhan pada norma-norma etika Islam mendominasi semua
perhatian lainnya. Kepentingan individu tidak boleh mendominasi atau berada di
atas kepentingan umum.
Peran Moneter-Fiskal
Menilik data BPS dan laporan BPK tersebut, sangat wajar mengundang kekhawatiran BPK. Lantaran utang pemerintah
menjulang tinggi di
saat pertumbuhan PDB merosot tajam. Kinerja ekonomi seperti itulah yang akan menyeret
ekonomi nasional ke jurang resesi yang lebih dalam.
Selain itu, kondisi ekonomi tersebut berimbas pada melebarnya defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kemenkeu mencatat defisit anggaran pada realisasi APBN 2020, mencapai Rp 1.039,2 triliun,
atau 6,34 persen terhadap PDB.
Namun yang lebih memrihatinkan keseimbangan primer APBN kian membengkak, yakni
mencapai Rp 700,4 triliun. Posisi anggaran seperti inilah yang membuat
pemerintah masuk dalam
jebakan “gali lubang, tutup jurang”.
Oleh karenanya
sangat diperlukan
efisiensi dan
efektifitas anggaran. Sementara itu, di saat yang bersamaan diperlukan pula efektifitas transmisi kebijakan moneter
bank sentral. Efisiensi anggaran yang dimaksud adalah pemerintah harus berani memangkas pos belanja
yang sekiranya kurang diperlukan, dan tidak
terkait langsung dengan
program pemulihan ekonomi, dan penanggulan krisis kesehatan, seperti angaran
perjalanan dinas
studi banding, dan proyek riset lembaga tinggi negara yang tidak relevan, dan cenderung berulang.
Sedangkan efektifitas anggaran berkaitan dengan belanja negara yang tepat sasaran, dan tidak mengalami kebocoran. Hal ini mengingat, sepanjang
masa pandemi
2020 telah terjadi
kebocoran BLT UMKM sebesar Rp 1,18 Triliun, dan penerima salah sasaran sebanyak 414.612 penerima.
Hal ini sebagaimana Allah berfirman:
“dan orang-orang yang
memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji mereka, dan orang-orang yang
memelihara sholatnya.”
[Q.S. Al Mukminun 8-9].
“Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat.” [Q.S. An-Nisa’:
58]
Di sisi lain, kebijakan-kebijakan
BI diharapkan berjalan efektif, seperti mempertahankan suku bunga rendah yang
berimbas pada laju kenaikan kredit (investasi), stabilitas nilai rupiah, dan
mengawal ketersediaan cadangan devisa yang cukup. Serta kita percaya BI tidak tergiur mencetak uang baru yang berakibat fatal bagi perekonomian Indonesia. []
KOMENTAR