Hidayat Nur Wahid
(Anggota Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah
2000-2005; Wakil Ketua MPR RI 2019-2024)
“Generasi yang
mengabaikan sejarah, merupakan generasi yang tidak memiliki masa lalu dan masa
depan”, begitu pernyataan dari penulis kenamaan Robert A Heinlein. Seluruh
bangsa di dunia selalu berusaha merawat sejarah bangsanya dengan baik. Di
negara-negara maju, misalnya, bisa dilihat bagaimana museum-museum sebagai
salah satu prasasti sejarah dirawat secara baik dan dikunjungi oleh masyarakat
dari berbagai kalangan.
Bangsa
Indonesia pun (harus terus) berusaha untuk merawat dan menjaga sejarah miliknya
sendiri. Presiden Republik Indonesia Ir Soekarno pernah berwasiat, “Jangan
Sekali-Kali Melupakan Sejarah” atau yang disingkat dengan Jas Merah. Namun, sayangnya, masih banyak
kisah sejarah bangsa yang diabaikan atau diselewengkan, misalnya soal sejarah
pemberontakan PKI dan dikesampingkannya peran Umat dan Ulama Islam dalam
perjuangan hadirkan Indonesia Merdeka dan selamatkan Indonesia dari
pemberontakan PKI. Oleh karenanya, selain Jas Merah, kita juga memerlukan “Jas
Hijau”, yakni “Jangan Sekali-Kali Menghilangkan Jasa Ulama,Umat dan Umaro
(Pemimpin Kerajaaan-Kerajaan Islam di Nusantara pada era Pra-Indonesia
Merdeka).
Salah satu
yang dicoba ditutup-tutupi dan karenanya perlu diingat dan rawat adalah terkait
sejarah pemberontakan kaum Komunis di Indonesia dalam berbagai fase sejarah
bangsa, suatu hal yang kerap dibuat lupa, apalagi di era hegemoni post-truth
dan besarnya pengaruh RRC belakangan ini. Padahal, dengan melihat kembali
sejarah kelam kaum komunis di Indonesia, kita dapat belajar dan waspada dengan
siapa sebenarnya yang patut disematkan sebagai musuh bangsa dan ideologi
negara, yang sudah dua kali memberontak dan mengkudeta pemerintahan sah RI dan
berupaya mengubah ideologinya.
Saya memang
bukan ahli sejarah. Dan memang tidak perlu menjadi ahli sejarah untuk merujuk
kepada literatur-literatur yang valid terkait kosongnya peran orang-orang
komunis dalam setiap rapat pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
hingga pengkhianatan dan pemberontakan yang mereka lakukan. Coba periksa
risalah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), Panitia
Sembilan, dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), apakah ditemukan
adanya perwakilan dari kalangan Komunis Indonesia (PKI) di sana? Tidak ada satu
nama tokoh PKI di sana. Tidak ada nama-nama tokoh Komunis seperti Semaun,
Alimin, Musso, Amir Syarifudin, DN Aidit, yang berulang disebut dalam Kamus
Sejarah Pendidikan versi Dirjen Kebudayaan di Kemendikbud (sebelum -kabarnya-
ditarik dari peredaran oleh Kemendikbud). Padahal ideologi komunis telah dibawa
ke Hindia Belanda oleh Henk Sneevliet sejak 1914, melalui gerbong Indische
Social Democratische Vereniging (ISDV)
yang kemudian bertransformasi menjadi PKI.
Bila merujuk
ke risalah-risalah tersebut, kita hanya dapat menemukan nama-nama tokoh dari
kalangan nasional dengan latar suku yang beragam, dan kalangan keagamaan
(terutama tokoh Islam). Dan tokoh-tokoh Islam itu berasal dari beragam Orpol
(seperti Syarikat Islam) dan Ormas Islam, termasuk Muhammadiyah. Melalui
risalah tersebut, kita melihat bagaimana tokoh-tokoh Islam dari partai Syarikat
Islam maupun dari kalangan Muhammadiyah memiliki peran yang besar dalam
memperjuangkan pemikirannya dalam pembentukan dasar negara Pancasila, dan juga
hukum dasar (konstitusi) bangsa Indonesia, yakni UUD 1945.
Bukan hanya
zonder peran dalam menyepakati Pancasila dan pembentukan NKRI, tetapi
orang-orang komunis di Indonesia berulangkali membuat ulah mengkhianati
kesepakatan para tokoh bangsa. Setidaknya itu terlihat pada tiga fase
pemberontakan yg mereka lakukan. Pertama adalah pemberontakan pada 1926-1927.
Walau pemberontakan menyasar kepada pemerintah Kolonial Belanda, tetapi aksi
ini dianggap ‘konyol’. Alhasil, bukan hanya orang-orang komunis yang dihabisi
oleh pemerintah Hindia Belanda, tetapi juga tokoh-tokoh pergerakan non-komunis
juga ikut dicurigai, sehingga merugikan perjuangan pergerakan nasional
Indonesia saat itu.
Kedua,
pemberontakan Madiun 1948 yang dilakukan oleh pemimpin PKI Musso. Melalui
manifesto “Jalan Baru”-nya, dan “Madiun affairnya” Musso justru memberontak
terhadap bangsa dan negaranya sendiri yang sah. Bisa dipahami bagaimana sakit
hatinya para pemimpin bangsa saat itu ketika mengetahui ada kelompok/orang
Indonesia sendiri yang merongrong kemerdekaan Indonesia yang masih seumur
jagung, hanya karena nafsu kekuasaan pribadi dan kelompok komunisnya semata.
Apalagi pemberontakan PKI ini juga menjadikan korbannya adalah para Kiyai,
Santri dan Pesantren. Termasuk Pesantren Gontor di Ponorogo.
Selanjutnya,
ketiga adalah pemberontakan 30 September 1965, dimana banyak jenderal-jenderal
TNI yang dibunuh oleh PKI, juga Ulama, Haji dan para Santri. Uniknya, pasca
reformasi, ada upaya-upaya yang ingin mengesankan bahwa PKI dan para kadernya
adalah sebagai korban, dan sebaliknya menuduh pihak lain sebagai dalang
pemberontakan 1965. Padahal, dokumen sejarah mencatat dengan jelas rencana PKI
tersebut, termasuk dokumen sejarah di Beijing yang mencatat dialog antara Ketua
Comite Central PKI DN Aidit dengan Ketua Partai Komunis Cina Mao Zedong,
sebelum peristiwa G-30-S PKI itu meletus.
Kekejaman PKI
sebelum peristiwa G-30-S PKI tersebut juga sudah sangat dirasakan di akar
rumput, terutama dialami kalangan para Haji dan tokoh Agama di tingkat kampung,
juga pesantren, kyai dan santri yang menjadi korban keganasannya. Bahkan,
dibubarkannya Partai Islam Masyumi tidak lepas dari peran provokatif PKI,
demikian juga pembubaran Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Sejarah-sejarah itu
mencatat bagaimana PKI dan orang-orang komunis di Indonesia memusuhi agama, dan
umat beragama, terutama aktifis Islam.
Oleh
karenanya, ketika setiap ada kebijakan yang terkesan anti-agama, wajar bila
Umat Islam harus waspada. Misalnya, beberapa waktu lalu, ada yang menghilangkan
frasa “agama” dalam Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020-2035, dan hilangnya
frasa ‘Iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa’ serta kewajiban
matakuliah Pendidikan Pancasila dalam PP
Standar Pendidikan Nasional. Atau upaya-upaya mengkaburkan sejarah dengan
hadirnya Kamus Sejarah Indonesia yang tidak menyebut peristiwa G-30-S PKI
sebagai suatu pemberontakan, sambil banyak menyebut tokoh-tokoh PKI, yang
padahal terbukti telah berkhianat kepada NKRI. Kamus produk Dirjen Kebudayaan
itu malah tidak menyebut nama tokoh-tokoh Islam yang justru ikut membuat dan
menyepakati dasar negara Pancasila, serta membentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kamus tsb tidak menyebut KH Hasyim Asyari, KH Wahid Hasyim, KH Mas
Mansoer, Mr Syafrudin Prawira Negara, M Natsir. Nama2 tokoh Umat dan Bapak
Bangsa ini tidak dicantumkan ditempat yang tepat dalam jilid I Kamus Sejarah
Indonesia.
Selain itu,
ada pula upaya untuk menghilangkan jejak kejahatan PKI dengan adanya usulan
pencabutan TAP MPRS XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan
Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme-Leninsme. Dan ada pula Rancangan Undang-Undang yang memuat
Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang justru tidak menggunakan TAP MPRS ini
sebagai rujukan. Padahal, TAP MPRS ini adalah salah satu benteng peraturan
terakhir dalam menghadang komunis dan komunisme agar Indonesia tidak jatuh ke
lubang yang sama untuk ketiga kalinya, dengan masih memberikan kesempatan
kepada komunis hidup pasca melakukan serangkaian pemberontakan. Apalagi
RasuluLlah SAW dahulu pernah ajarkan bahwa seorang mukmin itu tidak tersengat
ular dua kali dalam lubang yang sama [HR Bukhari].
Sekalipun
upaya-upaya di atas dapat digagalkan, atas peran Ormas dan Orpol Islam yang
berkolaborasi dengan kalangan nasionalis garis lurus, sehingga masih dapat
dikoreksi dan ditarik kembali oleh DPR dan Kemendikbud, tetapi adanya manuver-manuver
hingga tahapan itu, padahal jelas tidak sesuai dengan Pancasila dan UUDNRI
1945, menandakan adanya geliat kebangkitan yang mereka canangkan. Maka setiap
upaya dan gerakan “inkonstitusional” seperti ini wajar untuk terus makin
diwaspadai. Pasalnya, hanya komunisme dan yang masih terhubung dengan ideologi
PKI yang memiliki kepentingan apabila empat hal bermasalah di atas dapat
diwujudkan.
Oleh karena
itu, sebagai komponen bangsa Indonesia yang utama, umat Islam di posisi apapun
dan di manapun makin penting meningkatkan pemahaman akan manuver-manuver
kader-kader PKI, dan menguatkan ukhuwah dan kesatupaduan diantara Umat dan
NKRI, agar harus terus dapat memainkan perannya sebagai benteng NKRI. Bila Umat
dalam keragamannya semakin solid berukhuwah dan berta’awun, maka akan tidak
mudah dipecah belah atau di-adu domba jurus yang selalu dipakai oleh PKI dan
simpatisannya selama ini. Fokus yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam
menghadirkan kesolehan pribadi dan sosial melalui dakwah, pendidikan dan pemberdayaan
ekonomi Umat selama ini patut diacungi dua jempol, dan penting terus didukung
bersama. Kegiatan semacam itu tentu dapat membentengi bangsa dari bahaya
Komunisme yang anti moral dan kerap mengadu domba masyarakat dengan
pertentangan kelasnya, serta memanfaatkan kemiskinan atau kaum buruh untuk
kepentingan-kepentingan jangka pendek kaum komunis.
Kesolidan umat
penting terus dijaga. Jangan sampai terpecah belah, sebagaimana terpecahnya Dwi
Tunggal Soekarno-Hatta, yang berujung kepada mundurnya Bung Hatta sebagai Wakil
Presiden dan mengakibatkan Presiden Soekarno turun sebagai Presiden. Hal itu
semua berawal dari ulah para ‘buzzer-buzzer’ komunis yang mengadu domba dan
memprovokasi.
Akhir kata,
saya mengucapkan terima kasih kepada Persyarikatan Muhammadiyah beserta
organisasi-organisasi otonomnya, seperti Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda
Muhammadyah (KOKAM) dan lain sebagainya, dalam menyelamatkan umat dan bangsa
Indonesia dari komunisme dan pemberontakan PKI serta dalam segala upaya
menghadang komunis dengan segala bentuk untuk eksis kembali. []
*) Tulisan ini telah diterbitkan pada Majalah Tabligh edisi September 2021.
KOMENTAR