Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa
istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation,
yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Juga terdapat kata
moderator, yang berarti ketua (of meeting), pelerai, penengah (of
dispute). Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio,
yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti penghidaran kekerasan atau
penghindaran keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang
berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan
kecenderungan ke arah jalan tengah. Sedangkan kata “moderator” berarti orang
yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang
(rapat, diskusi) yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian
masalah.
Dalam Bahasa Arab, istilah wasathiyah berasal dari
akar kata “wasatha” secara etimologi berarti sesuatu yang berada (di
tengah) di antara dua sisi. Menurut Ibnu ‘Asyur, kata wasath berarti sesuatu
yang ada di tengah atau sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya
sebanding. Menurut al-Asfahany, kata wasathan berarti tengah-tengah di antara
dua batas (a’un) atau bisa berarti yang standar. Kata tersebut juga
bermakna menjaga dari sikap melampaui batas (ifrath) dan ekstrem (tafrith).
Kata al-wasath dalam banyak riwayat juga bermakna bermakna al-‘adl.
Jika kata “moderasi” disandingkan dengan kata
“beragama”, menjadi “moderasi beragama”,
maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau
menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Gabungan kedua kata itu menunjuk
kepada sikap dan upaya menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip untuk selalu
menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem (radikalisme) dan selalu
mencari jalan tengah yang menyatukan dan membersamakan semua elemen dalam
kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa Indonesia.
Bukan Moderasi Agama!
Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, suku,
budaya, bahasa, dan agama. Sementara itu, semua pemeluk agama berhak memeluk
agama yang dianutnya dan berpandangan bahwa agama yang dianutnya adalah agama
yang benar dan baik. Namun, di sisi lain setiap pemeluk agama juga harus
menghargai hak pemeluk agama lain yang juga berpandangan bahwa agama yang
dianutnya adalah agama yang benar dan baik.
Dalam konteks keragaman tersebut, sangat diperlukan cara
beragama yang moderat. Dengan terciptanya toleransi dan kerukunan maka
masing-masing umat beragama dapat memperlakukan orang lain secara terhormat,
menerima perbedaan, dan hidup bersama secara damai.
Oleh karena itu, moderasi beragama menjadi sangat penting
karena kecenderungan pengamalan ajaran agama yang berlebihan atau melampaui
batas. Mengamalkan moderasi beragama pada hakikatnya juga menjaga keharmonisan
intern antarumat beragama sehingga kondisi kehidupan bangsa tetap damai dan
kehidupan berjalan harmonis.
Moderasi beragama merupakan usaha kreatif untuk mengembangkan
suatu sikap keberagamaan di tengah pelbagai desakan ketegangan (constrains),
seperti antara klaim kebenaran absolut dan subjektivitas, antara interpretasi
literal dan penolakan yang arogan atas ajaran agama, juga antara radikalisme
dan sekularisme. Komitmen utama moderasi beragama terhadap toleransi
menjadikannya sebagai cara terbaik untuk menghadapi radikalisme agama yang
mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan, pada gilirannya, mengimbasi
kehidupan persatuan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Pada buku saku Moderasi Beragama yang diterbitkan oleh
Balitbang dan Diklat Kementerian Agama RI (2019), Moderasi Beragama diartikan
sebagai proses memahami sekaligus mengamalkan ajaran agama secara adil dan
seimbang, agar terhindar dari perilaku ekstrem atau berlebih-lebihan saat
mengimplementasikannya.
Prinsipnya ada dua: adil dan berimbang. Bersikap adil berarti
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya seraya melaksanakannya secara baik
dan secepat mungkin. Sedangkan sikap berimbang berarti selalu berada di tengah
di antara dua kutub.
Moderasi beragama bukan berarti memoderasi agama, karena
agama dalam dirinya sudah mengandung prinsip moderasi, yaitu keadilan dan
keseimbangan. Bukan agama jika ia mengajarkan perusakan di muka bumi,
kezaliman, dan angkara murka. Jadi bukan agama yang harus dimoderasi, melainkan
cara penganut agama dalam menjalankan agamanya itulah yang harus dimoderasi.
Tidak ada agama yang mengajarkan ekstremitas, tapi tidak sedikit umat beragama
yang ekstrem.
Semangat moderasi beragama adalah untuk mencari titik
temu dua kutub ekstrem dalam beragama. Di satu sisi, ada pemeluk agama Tang
ekstrem meyakini mutlak kebenaran satu tafsir teks agama, seraya menganggap
sesat penafsir selainnya. Kelompok ini biasa disebut ultra-konservatif. Di sisi
lain, ada juga umat beragama yang ekstrem mendewakan akal hingga mengabaikan
kesucian agama, atau mengorbankan kepercayaan dasar ajaran agamanya demi
toleransi Tang tidak pada tempatnya kepada pemeluk agama lain. Mereka biasa
disebut ekstrem liberal. Keduanya perlu dimoderasi.
Tantangan Moderasi Beragama di
Indonesia
KOMENTAR